RESUME BUKU “ISLAM DAN MASYARAKAT BANJAR; DESKRIPSI & ANALISA KEBUDAYAAN BANJAR”
KARYA ALFANI DAUD
Tugas Mata Kuliah Islam Kawasan Kalimantan
Dosen Pengasuh:
DR. MUJIBURRAHMAN, MA
Disusun oleh;
Mutia Rahmawati
NIM. 09.0201.0492
Syahyuni
NIM. 09.0201.0493
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN FILSAFAT ISLAM
KONSENTRASI ILMU TASAWUF
BANJARMASIN
2010 M/ 1431 H
RESUME BUKU “ISLAM & MASYARAKAT BANJAR; DESKRIPSI & ANALISA KEBUDAYAAN BANJAR”
KARYA ALFANI DAUD
(STUDI ISLAM KAWASAN KALIMANTAN)
A. PENDAHULUAN
Dalam Studi Islam Kawasan Kalimantan, buku yang ditulis oleh Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi & Analisa Kebudayaan Banjar, telah menjadi salah satu rujukan literatur nasional yang hal ini boleh jadi karena Penulis buku tersebut adalah asli “Orang Banua” atau juga karena buku yang ditulis dari hasil area study; yang langsung terjun ke lapangan, atau bisa juga karena kurangnya buku-buku yang menjadi literatur bagi kalangan yang mempelajari studi Islam di kawasan Kalimantan, terutama Islam dalam masyarakat Banjar. Terlepas dari semua itu, buku ini sangat penting ketika khazanah sejarah masyarakat Banjar mulai kurang tersorot dalam kajian historisitas dan religiusitas masyarakat Banjar itu sendiri di era Kontemporer ini. Padahal diakui atau tidak, tidak ada agama yang berkembang di suatu wilayah tanpa terlepas dari pergumulan budaya wilayah tersebut. Hal ini akan menjadi sangat penting ketika berbicara Islam adalah agama yang disebut sebagai agama tauhid, tapi sadar atau tidak disadari, sengaja atau tidak sengaja, berdaya atau tidak berdaya dalam realita, unsur adat dan budaya telah masuk atau justru akan selalu ada dalam ranah pengamalan ajaran Islam itu sendiri.
Dalam buku tersebut kita akan lebih mengenal seluk beluk kondisi geografis dan sosiologis masyarakat Banjar, bagaimana budaya dan ritualitas mereka yang dulu masih sangat kuat dijalankan bahkan hingga sekarang masih ada yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Selain itu, bagaimana juga Alfani Daud memaparkan tentang ajaran Islam dan kebudayaan Banjar itu sendiri; antara esensi ajaran Islam yang bersifat tauhidiyah dan yang bersifat insaniyah juga yang bersifat kauniyah dengan unsur-unsur kebudayaan yang diproduk oleh manusia itu sendiri atau dari pengaruh ajaran agama lain baik dari agama terdahulu maupun agama yang masuk dari luar. Hal ini akan menjadi sub-sub penting yang kami resume dengan lebih banyak memuat kutipan-kutipan yang ditulis oleh Alfani Daud tersebut tanpa melupakan kritikan, komentar, dan saran untuk menambah luasnya wacana kajian “Islam dan Masyarakat Banjar” karya beliau tersebut untuk menjadi lebih inspiratif dan kritis bagi generasi penerusnya yang berminat untuk melakukan kajian yang sama.
B. MASYARAKAT BANJAR: KONDISI GEOGRAFIS & SOSIOLOGIS
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1947 membentuk suatu daerah ketatanegaraan Banjar dengan sebuah dewan perwakilan yang dinamakan Dewan Banjar, yang wilayahnya meliputi eks Afdeeling Bandjermasin dan Afdeeling Hoeloe Soengei, yang akan menjadi bagian Negara federasi RIS yang akan meliputi seluruh Indonesia.(h. 2).
Yang mengaku orang sebagai orang Banjar bukan saja penduduk eks Afdeeling Bandjermasin melainkan meliputi juga penduduk asal eks Afdeeling Hoeloe Soengei, khususnya jika berada di luar kedua eks Afdeeling itu. Untuk Afdeeling Bandjermasin meliputi Banjarmasin, Marabahan/Barito Kuala, Martapura/Banjar, dan Plehari/Tanah Laut. Sedangkan Afdeeling Hoeloe Soengei meliputi Rantau/Tapin, Kandangan/Hulu Sungai Selatan, Barabai/Hulu Sungai Tengah, Amuntai/Hulu Sungai Utara, dan Tanjung/Tabalong. Dalam wilayah eks Afdeeling yang disebut terakhir ini diketahui setidak-tidaknya dibedakan dua wilayah, sesuai dengan kebiasaan penduduk menyebutnya, yaitu daerah Pehuluan dan daerah Batang Banyu. Batang Banyu berarti sungai, dan sering berarti nama lain bagi sungai Negara. Sebagai suatu daerah ia meliputi wilayah lembah sepanjang sungai Negara mulai dari sekitar kota Margasari di sebelah hilir dan mungkin sampai ke kota Kelua di tepi sungai Tabalong. Pehuluan berarti tempat di hulu atau daerah hulu sungai, dan sebagai daerah meliputi wilayah aliran sungai-sungai anak cabang sungai Negara dan semuanya berhulu di pegunungan Meratus. Penduduk Batang Banyu dinamakan orang Batang Banyu dan penduduk Pehuluan dinamakan orang Pehuluan, yang memang dibedakan dengan orang Banjar. (h. 1).
Bahasa yang dikembangkan oleh orang Banjar dinamakan bahasa Banjar dan bahasa yang dikembangkan oleh orang Pehuluan dinamakan bahasa Pehuluan. Tidak ada kesulitan komunikasi antara pemakai kedua dialek ini, karena keduanya masih tergolong bahasa Melayu. Menurut Alfani Daud, baik bahasa Banjar maupun bahasa Pehuluan masih terbagi atas berbagai subdialek. (h.2).
Diperkirakan cikal bakal nenek moyang suku bangsa Banjar berintikan suku bangsa Melayu yang berimigrasi ke daerah ini dari Sumetara atau sekitarnya pada sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Mereka memasuki daerah ini dari arah Selatan, Laut Jawa, pada waktu daerah rawa-rawa yang luas, yang membentuk provinsi Kalimantan Selatan dan provinsi Kalimantan Tengah saat ini, masih merupakan sebuah Teluk Raksasa, dengan pantai sebelah timurnya berada di kaki pegunungan Meratus. Cikal Bakal nenek moyang orang-orang Banjar memudiki sungai-sungai yang bermuara di teluk raksasa dan membangun pemukiman di tepi-tepi sungai tersebut, yang semuanya berhulu di kaki pegunungan Meratus.
Pada waktu mereka mula pertama tiba di kawasan ini, mereka tentu berjumpa dengan kelompok-kelompok penduduk yang lebih asli, yaitu yang saat ini disebut secara umum sebagai orang Dayak, yaitu suku Dayak pegunungan Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju (di kalangan masyarakat Banjar dinamakan Biaju), dan suku Dayak Lawangan. (h. 3).
Ketika cikal bakal nenek moyang orang Banjar itu membentuk pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil, kewibawaannya juga meliputi kelompok-kelompok Dayak di sekitarnya, yaitu suku Dayak Manyan di lembah Tabalong dan Balangan (dan sebelah hilirnya), dan suku Dayak Bukit di lembah sungai-sungai lainnya. Pada suatu saat pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas. Pusat kekuasaan yang menyatukan seluruh wilayah Banjar ini bergerak ke arah Selatan sejalan dengan terbentuknya delta-delta baru di lembah Negara dan seirama dengan pergeseran ibukota ini dan pertemuan serta percampuran dengan kelompok-kelompok Dayak, yaitu Dayak Bukit dan Dayak Manyan, dan belakangan, ketika ibukota berada di Banjarmasin dengan Dayak Ngaju, masyarakat Banjar berkembang menjadi tiga kelompok sub suku, yaitu (Banjar) Pehuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Tentang ketiga kelompok subsuku ini sangat disadari oleh masyarakat Banjar. (h. 3).
Ketika berabad-abad kemudian teluk raksasa yang maha luas itu berubah menjadi rawa-rawa dan daratan, ternyata cikal bakal masyarakat Banjar itu menempati suatu wilayah yang di sebelah timur dibatasi oleh pegunungan Meratus, dan di sebelah Barat dibatasi oleh sungai Barito. Mereka kemudian mendesak orang-orang Dayak, sedemikan hingga, kecuali mereka yang melebur ke dalam masyarakat Banjar, kelompok-kelompok Bukit saat ini mendiami daerah pegunungan Meratus yang lebih jauh, kelompok-kelompok Manyan hanya tersisa sedikit di lembah Tabalong dan lembah Balangan, dan kelompok-kelompok Ngaju tidak ada lagi di daerah ini. Masyarakat Dayak, khususnya Bukit dan Manyan, mempunyai dongeng-dongeng yang menyatakan kenangan mereka akan di daerah-daerah yang dahulu merupakan tempat tinggal mereka. (h. 3-4).
Hal tersebut di atas menurut Alfani Daud, bisa dibayangkan adanya percampuran darah dengan kelompok-kelompok Dayak setempat. Kebudayaan kaum imigran Melayu lebih unggul dan lebih dominan dari kebudayaan masyarakat yang lebih asli. Sehingga meskipun mungkin darah Dayak lebih banyak mengalir dalam tubuh kelompok masyarakat Banjar tertentu, namun kebudayaan yang dikembangkannya tetap kebudayaan kaum pendatang.
Seperti uraian di atas juga, daerah pemukiman para imigran Melayu, yang menjadi inti masyarakat Banjar, yang mula-mula ialah lembah-lembah sungai Martapura, sungai Negara, dan sungai-sungai lain yang semuanya, belakangan, merupakan cabang-cabang sungai Negara. Yang terpenting diantaranya ialah sungai Tapin, sungai Amandit, sungai (Batang) Alai, sungai (Batang) Balangan, dan sungai Tabalong. Semua sungai-sungai yang disebutkan ini arusnya relatif tidak deras, diantaranya ada yang masih dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut sampai sekarang ini, sehingga juga relatif mudah dimasuki dari Laut Jawa, melalui teluk raksasa yang diperkirakan dahulu jauh menjorok ke dalam pulau Kalimantan bagian Selatan. Pemusatan penduduk yang besar tentu saja dahulu juga terletak di tepi-tepi sungai tersebut, yaitu di tebing-tebing sungai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang umumnya berupa rawa-rawa. Kota-kota yang terbentuk dahulu juga terletak di tepi-tepi sungai tersebut di atas, yaitu Banjarmasin, Martapura (keduanya di tepi sungai Martapura); Marabahan (di muara sungai Bahan di tepi sungai Barito); Margasari, Negara, Alabio, Amuntai (di tepi sungai Bahan), Kelua dan Tanjung (di tepi sungai Tabalong); Rantau (di tepi sungai Tapin), Kandangan (di tepi sungai Amandit), Birayang dan Barabai (keduanya di tepi sungai Alai). Hanya Tanjung dan umumnya lembah sungai Tabalong yang terletak di daratan yang agak tinggi. Kota-kota Barabai, Kandangan, Rantau (ketiganya mungkin terbentuk sejalan dengan dibangunnya konsentrasi militer Belanda), Birayang, dan Martapura, dan daerah-daerah sekitarnya terletak pada ketinggian tidak lebih dari 20 meter di atas permukaan laut di lereng Pegunungan Meratus, sedangkan Amuntai, Alabio, Margasari, dan Negara dilingkungi oleh tanah rendah yang sering digenagi air. Marabahan dan Banjarmasin, yang terletak pada pertemuan, masing-masing sungai Bahan dan sungai Martapura dengan sungai Barito sering tergenang ketika air pasang naik. Sekarang dapatlah diperkirakan pola pemukiman penduduk pada tahap permulaan, dimana sungai menjadi sarana perhubungan yang paling penting, penduduk memusat di tepi-tepi sungai. Namun belakangan, meskipun sungai tetap merupakan sarana perhubungan yang terpenting, penduduk menyebar pula ke daerah-daerah yang relatif agak jauh dari tepi sungai, malah kemudian mendesak agak ke lereng-lereng pegunungan yang lebih tinggi. Ketika jalan raya dibangun sekitar pertengahan abad yang lalu dan menjadi sarana perhubungan yang penting pula di samping perhubungan sungai, pemukiman penduduk juga terjadi sepanjang jalan tersebut, di samping pemukiman lama yang memanjang sungai. (h. 106-107, dikutip oleh Alfani Daud dari tulisan Tichelman).
Mengingat situasi alam seperti itu, kemungkinan untuk hidup dari pertanian pada waktu dahulu agak terbatas. Padi mungkin dahulu hanya dihasilkan di daerah hulu sungai, dan hanya cukup untuk kebutuhan daerah itu saja, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kota-kota pelabuhan dan kota-kota pantai beras harus didatangkan dari Jawa, paling tidak sebagian. Lada merupakan hasil produksi yang pokok pada masa sebelum zaman Hindia Belanda, dan kemudian juga kopi. (h. 107).
Pencaharian hasil hutan daerah hutan gunung tidak banyak dilakukan, meskipun juga dengan hasil-hasil hutan berupa kayu bulat (logs), rotan, dammar, bamboo, dan lain-lain. Yang banyak diusahakan ialah hutan-hutan di daerah berbukit-bukit, baik secara tradisional sejak zaman dahulu hingga belum lama berselang atau secara modern sejak akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan karena usaha mengangkut hasilnya lebih mudah, yaitu dengan menghilirkannya sebagai rakit-rakit melalui sungai. Hutan jenis terakhir ini banyak terdapat di wilayah kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, dan Tanah Laut, dan membelok ke arah Timur di kabupaten Kota Baru. (h. 108).
Bumi Banjar juga mengandung bahan tambang; yang sudah digali sejak lama ialah intan, emas dan batu bara, dan belakangan batu berikil dan pasir. Ditemukannya batu bara di daerah Riam Kiwa dan Banyu Irang adalah salah satu sebab mengapa kesultanan Banjar harus dihapuskan sekitar pertengahan abad yang lalu: Belanda berusaha dengan segala cara agar daerah pertambangan batu bara itu termasuk dalam daerah kekuasaannya yang langsung, lepas dari pengaruh sultan. Usaha penambangan intan dan emas sudah dikerjakan secara turun-temurun, mungkin sejak zaman kerajaan yang awal; cara-cara penambangan sering lebih bersifat upacara, dengan pantangan-pantangan ketat. Kampong Cempaka di dekat Martapura adalah tempat penambangan intan sejak zaman sultan-sultan, dan mata pencaharian penduduknya dahulu memang mendulang intan secara turun-temurun. Tempat-tempat penambangan intan lainnya ditemukan di tempat-tempat lain di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut. Emas ditemukan di wilayah Kabupaten Tanah Laut juga. Batu kali dan pasir juga ditambang oleh rakyat.
Adanya hasil hutan berupa kayu, selain menumbuhkan usaha penebangan, yang diusahakan oleh kelompok-kelompok tertentu, telah pula menumbuhkan usaha penggergajian kayu (wantilan). Kalimantan Selatan memang terkenal sejak lama sebagai penghasil kayu gergajian, termasuk dari bahan ulin. Tersedianya jenis ulin tertentu telah menumbuhkan usaha kerajinan, yang mengolah kayu ulin menjadi sirap, yang digunakan sebagai atap rumah-rumah mewah. Perahu-perahu layar dan bermotor di kawasan ini sering dibuat dari bahan ulin; industri perahu ini banyak ditemukan di Negara, tetapi juga terdapat di sekitar Banjarmasin.
Di bidang usaha kerajinan, diantaranya berupa anyam-anyaman dari bahan rotan (tikar, lampit, kipas, keranjang-keranjang, dan lain-lainnya), dari bahan bamboo (wadah-wadah, alat-alat penangkap ikan, dan lain-lain), bamban, purun (tikar, topi, wadah-wadah), daun dan pelepah rumbia dan nipah (atap, kajang, lampit, tudung saji, dan tanggui, sejenis topi yang sangat lebar).
Usaha kerajinan tenun, kerajinan batik, dan pencelupan kain dahulu memang ada; sekarang ini ketiga keterampilan ini hanya menyiapkan kain untuk keperluan upacara atau pengobatan secara magis, dan kualitasnya pun sangat rendah sekali. Juga kerajinan ukir mengukir dahulu ada di kawasan ini, tetapi sekarang sudah menghilang.
Konon usaha pertanian di daerah sekitar Negara dahulu relatif sulit dilakukan. Penduduk Negara lalu mengembangkan keterampilan membuat kerajinan tanah liat, kerajinan besi, dan kerajinan kuningan, serta kemudian kerajinan aluminium. Sebagai daerah penghasil ikan, yang banyak ditemukan di rawa-rawa di sana, Negara juga menghasilkan alat-alat penangkap ikan, dari bahan benang (belakangan benang nilon), dari bahan bambu, dan lain-lain. Produk pandai besi Negara, berupa senjata tajam dan alat-alat pertanian, sangat terkenal sejak zaman sultan-sultan. Saudagar-saudagar dari Negara memasarkan produksi daerahnya bukan saja di daerah Banjar melainkan sampai ke daerah lainnya di Nusantara dan di luarnya. Negara memang terkenal sebagai kota industri sejak zaman kesultanan. Selain di Negara, kerajinan tanah liat juga diusahakan sejak lama di Sungai Tabuk, tidak terlalu jauh dari Banjarmasin.
Usaha peternakan kerbau dilakukan di daerah rawa-rawa di Alabio, dan juga di Negara. Usaha peternakan kerbau, yang sifatnya dibiarkan menjadi liar dahulu dilakukan orang di daerah hutan-hutan lereng gunung di Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Tabalong. Alabio juga terkenal dengan usaha peternakan itik. Usaha peternakan kerbau atau itik juga ditemukan di tempat lain, tapi (dahulu) tidak sepenting di keempat tempat tersebut. (h. 109-110).
Menurut Alfani Daud, jika diperhatikan dengan seksama hubungan-hubungan antar penduduk di dalam sebuah kampung, terutama sebelum tahun 1977 (ketika banyak kampung-kampung dipecah), terlihat adanya kelompok warga, baik yang hanya berwujud kelompok (group) maupun yang berwujud perkumpulan (association). Kelompok-kelompok atau perkumpulan-perkumpulan itu paling tidak dapat dibedakan atas tiga hal: pertama, yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial), kedua, yang berdasarkan kepentingan yang sama-sama dirasakan, dan ketiga, yang berdasarkan pada adanya kesamaan kegiatan.
Untuk perkembangan pemukiman-pemukiman pada masa yang lalu, tampak bahwa pada mulanya sebuah kampung selalu terdiri dari beberapa buah pusat pemukiman penduduk, yang antara lain berkembang menjadi anakkampung. Di antara pemukiman-pemukiman atau anakkampung-anakkampung ini terdapat tanah kosong sebagai batasnya satu sama lain. Dalam periode selanjutnya suatu komplek pemukiman meluas dan melebar mendekati komplek pemukiman lainnya, sehingga akhirnya menjadi satu, dan antara anakkampung yang satu dengan yang lainnya tidak tampak batas-batasnya lagi. Karena adanya hubungan perkawinan antara penduduk suatu anakkampung dengan penduduk anakkampung yang berbatasan dan juga karena mobilitas penduduk, penduduk anakkampung-anakkampung yang berbatasan hidup berbaur.
Ada kemungkinan dahulu komplek pemukiman atau anakkampung tertentu hanya didiami oleh para warga suatu kelompok kekerabatan ambilinial, yang dinamakan bubuhan memang benar dalam banyak peristiwa konsep bubuhan ini tidak dapat diidentefikasikan lagi dalam suatu kampung. Tetap apabila suatu bubuhan dahulunya berpengaruh, ada kecenderungan untuk terus mengenang tokoh mereka yang berpengaruh tersebut, disertai suatu rasa kekerabatan yang erat dikalangan mereka.
Meskipun kepala bubuhan secara resmi tidak ada, namun salah seorang warga bubuhan, biasanya sisa dari generasi yang tua berfungsi sebagai symbol kesatuan bubuhan. Orang tua ini, ditambah dengan beberapa orang yang bijaksana diantara warga bubuhan, adalah merupakan tempat para warga bubuhan memusyawaratkan segala sesuatu menyangkut kepentingan salah seorang anggota atau keseluruhan bubuhan. Karena mobilitas penduduk, sebuah bubuhan yang besar biasanya anggota-anggotanya tidak mengelompok pada suatu anakkampung atau kampung saja, tetapi kadang-kadang menyebar pada beberapa kampung atau anakkampung. Dalam setiap peristiwa atau kegiatan yang menyangkut bubuhan, seperti kematian atau perkawinan salah seorang warga, seluruh bubuhan diberitahu dan diajak serta dalam kegiatan, terutama karena adanya pengaruh simbol bubuhan. Apabila simbol bubuhan kemudian meninggal dunia, keakraban antara warga bubuhan, simbol yang tidak tinggal dalam suatu komplek pemukiman, suatu anakkampung, atau suatu kampung, menjadi longgar.
Kepala-kepala keluarga membentuk suatu perkumpulan yang dinamakan sinoman mati atau rukun kematian (yang terakhir ini sekarang lebih populer), yaitu wadah mereka bergotong-royong mengurus mayat anggota (keluarganya) dan membantu terselanggaranya selamatan. Sinoman kawin juga perkumpulan kepala-kepala keluarga, yaitu terutama tujuannya ialah untuk memberikan bantuan agar suatu upacara perkawinan keluarga warga sinoman terlaksana dengan baik. Pada kedua bentuk perkumpulan ini telah ditentukan pembagian tugas dan tanggungjawab diantara anggota masing-masing dengan hak untuk menyerahkan tenaga demi terlaksananya tugas dengan baik.
Para pemuda (hanya pria) ada yang tergabung dalam perkumpulan kesenian sinoman hadrah, yang terutama bertugas memeriahkan pesta perkawinan dan mengiringkan pengantin pria ketika diarak ke tempat pesta di rumah pengantin perempuan. Adanya sinoman hadrah rupa-rupanya dahulu sejalan dengan sinoman kawin: sinoman kawin adalah perkumpulan kepala keluarga, dan sinoman hadrah adalah perkumpulan para pemudanya. Para pemudinya ada juga yang tergabung dalam perkumpulan rebana (tidak umum siftanya). Bedanya jika pada sinoman hadrah terdapat anggota yang sudah kawin maka pada perkumpulan rebana semua anggota adalah gadis-gadis. Seperti halnya sinoman hadrah, perkumpulan rebana juga mengadakan pertunjukan guna memeriahkan pesta atau perayaan.
Perkumpulan yang mengutamakan kegiatan yang lainnya ialah berupa kumpulan yasinan, kumpulan shalawat, kumpulan maulud, kumpulan pengajian Alquran, kumpulan shalawat dala’il, dan lain-lain. Kumpulan yasinan dan selawat ada kalanya berupa perkumpulan para wanita, yang kegiatannya, sesuai dengan namanya, ialah membaca surah Yasin (Q.35) atau selawat bersama-sama, setiap minggu bergiliran di rumah-rumah anggota. Kegiatannya sering dikaitkan dengan semacam arisan, dan meskipun anggotanya mengelompok dalam daerah tertentu di dalam kampong, namun belum tentu sejalan dengan pembagian wilayah administrasi desa. (h. 94-97).
Di dalam masyarakat Banjar penghargaan diberikan terhadap orang yang lebih tua umurnya, orang yang karena kualitasnya pribadi tertentu dituakan dalam masyarakat, orang-orang yang menduduki jabatan tertentu di dalam masyarakat desanya, atau jabatan-jabatan lain di luar desanya, dan dihormati karena menjabat sebagi guru, terutama guru agama, atau menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. (h. 98).
C. SISTEM KEPERCAYAAN DAN RITUALITAS MASYARAKAT BANJAR
Seperti halnya terjadi di mana-mana dan pada suku bangsa apasaja, orang Banjar melakukan kegiatan berupacara dalam hampir tahap: ketika seorang warga baru lahir, ketika ia disunat, ketika ia menamatkan Alquran ketika ia meninggal dunia, dan khususnya bila itu seorang wanita, ketika ia kawin pertama kali dan hamil pertama kali. Mereka juga melakukan upacara pada waktu-waktu tertentu, dan ketika dirasakan ada keperluan untuk itu. Demikianlah mereka memperingati hari kelahiran Nabi berganti-ganti selama sebulan penuh, demikian pula hari Nabi naik ke langit. Mereka memperingati hari turunnya Alquran tidak saja pada hari tertentu melainkan berlanjut pada hari-hari berikutnya. Demikian juga halnya dengan kedua hari raya. Dan masih ada beberapa waktu lagi dimana mereka melakukan berbagai kegiatan ritual: pertengahan Sya’ban, hari Asyura, dan hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Selain itu diantara mereka ada yang melakukan upacara bersaji setahun sekali, yang waktunya tertentu. Mereka juga melakukan upacara sewaktu-waktu diperlukan: tahap-tahap tertentu menanam padi, mendulang intan atau emas, tahap-tahap tertentu membangun rumah, dan ketika seorang kerabat pergi haji. Mereka melakukan atau meminta orang lain melakukan peramalan, pengobatan, dan ketika mereka khawatir ada orang yang mencelakakan mereka secara gaib. (h. 227).
Berikut secara singkat gambaran sistem kepercayaan dan kegiatan ritualitas masyarakat Banjar yang telah diuraikan oleh Alfani Daud:
1. Kegiatan Ritual Saat Kelahiran dan Beberapa Waktu Sesudahnya
Berbagai kegiatan upacara disekitar seorang bayi, terdapat tahap-tahap kehidupan bayi yang dapat dibedakan menjadi saat kelahiran, saat tangkai pusatnya lepas, dan saat ia berumur 40 hari. Semuanya ini terhimpun dalam kegiatan ritual pada saat lahir, adat memangku bayi, perlakuan terhadap tembuni, dan kepercayaan berkenaan dengan kelahiran, pemeliharaan bayi, dan berbagai upacara sampai bayi berumur 40 hari.
Setiap bayi konon dilahirkan bersama-sama saudara-saudara (gaib) kembarnya, yang jumlahnya empat atau enam, sedemikian sehingga bersama-sama dengan si bayi sendiri mewujudkan kembar lima atau kembar tujuh. Saudara-saudara (dangsanak, saudara) ini biasanya merupakan personifikasi dari benda-benda yang menyertai si bayi ketika ia dilahirkan. Konon berturut-turut lahir tubaniyah, camariyah, si bayi sendiri, tambuniyah, dan terakhir uriyah. Tambahan dua personifikasi (nama-namanya tiga, tetapi setiap kali hanya muncul dua) lagi, ialah darahiyah dan hisiyah atau kilutiyah. Saudara-saudara kembar atau saudara-saudara gaib ini konon tetap berperan terhadap si bayi, selama masih kecil, bahkan sepanjang umurnya. Berbagai kelakuan dan penyakit atau gangguan pada bayi sering dikaitkan dengan saudara-saudara gaibnya sendiri. Si bayi merengut atau tersenyum ketika tertidur adalah pertanda si bayi diajak bercanda oleh tambuniyah, sehingga kelakuan itu sering dinamakan ”(bayi) main tambuni”. Bayi sakit perut atau kembung perutnya sering dianggap karena tambuniyah sulit bernapas, dan ini konon disebabkan karena (pembuluh bamboo) saluran pernafasannya tersumbat. Bayi menangis tiba-tiba atau menangis terus-menerus konon juga ada kaitannya dengan saudara gaibnya ini. Penyakit rahi, yaitu bayi yang dilahirkan suatu keluarga selalu meninggal setelah berumur satu atau beberapa tahun, konon karena ulah uriyah, saudarnya yang paling bungsu dan di Dalam Pagar dianggap paling nakal, yang iri terhadap si bayi yang sangat disayangi orang tuanya dan kerabat dekatnya. (h.233-234).
Untuk itulah berbagai usaha dilakukan untuk menjaga agar bayi tidak diganggu oleh makhluk-makhluk halus, termasuk saudara-saudara gaibnya sendiri. Meletakkan cermin, (kitab) surah Yasin, bawang tunggal, (daun) jeriangau (jeringau) dan jeruk tipis dekat kepala bayi sampai bayi berumur 40 hari adalah dimaksudkan agar kuyang dan hantu beranak tidak berani mendekat, tetapi juga agar bayi terhindar dari gangguan saudara-saudara gaibnya. Gejala-gejala seperti bayi menangis dengan tiba-tiba, tertawa-tawa atau tersenyum konon adalah pertanda bahwa ia tengah diajak oleh saudara gaibnya itu, tetapi bila gejala itu berlangsung lama tentu harus diusahakan mengobatinya. Agar saudara-saudaranya itu menjauhkan diri, kepala bayi diusap dengan daun inggu, atau jika menangis terus-menerus, konon suatu gejala gangguan oleh uriyah, bayi biasanya disembur dengan banyu doa (air doa) pada sore hari menjelang senja. Masih banyak beberapa penyakit atau yang dipercayai sebagai gangguan dari makhluk halus atau makhluk gaib, seperti kapidaraan, diisap bayu, karungkup, dan sawan. Semua ini diberi penangkal dengan benda-benda yang dianggap berunsur magis dan menyembuhkan selain masyarakat Banjar juga percaya terhadap ayat-ayat Alquran untuk kesembuhan tersebut. (h. 235-236).
Setelah bayi lahir, seperti masih kebanyakan terjadi di Dalam Pagar, tangkai pusat sang bayi tersebut dipotong dengan sembilu dan kemudian dibungkus dengan kunyit bercampur kapur, bayi dimandikan, diwudui, perutnya diolesi dengan bedak beras, diubun-ubunnya dioles (dikasai) dengan ramuan beras dan garam, lalu seluruh tubuhnya dibalut dengan kain bersih, termasuk kedua tangannya (dibedong). Sebagai tempat bayi dibaringkan telah disiapkan alas (lapik). Seterusnya ada kebiasaan membisikkan azan bagi bayi pria dan iqamat bagi bayi wanita yang biasanya dilakukan oleh ayah si bayi atau nenek laki-lakinya. Kepala bayi yang baru lahir diantukkan pada tiang pokok rumah tiga kali berturut-turut konon agar si bayi keras semangatnya. Kebiasaan lain yang dinamakan tahnikah, ialah menyuapi bayi yang baru lahir dengan sedikit garam dan kurma atau madu; sebelum dimsukkan ke dalam mulut bayi kurma dikunyahkan terlebih dahulu, yang untuk ini dimintakan bantuan seorang yang alim ketika beliau berkunjung. Malam harinya diadakan tadarusan Alquran. (h. 230-231).
Dahulu, khususnya dikalangan keluarga kaya dan kaum bangsawan, dalam rangka bajajagaan urang baranak, bayi sejak lahir dipangku terus menerus sampai diadakan upacara baandak (meletakkan) pada umur bayi 40 hari, yang segera diteruskan dengan bapalas bidan (suatu upacara pemberkatan yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan si ibunya; karena bayi yang baru lahir dianggap sebagai anak bidan sampai dilaksanakannya upacara bapalas bidan ini) dan upacara-upacara lainnya, yaitu upacara batapung tawar. Pada saat bayi terendah berumur 7 hari dan tidak pernah lebih tua dari umur 40 atau 42 hari diadakan upacara ‘mencukur bayi’ yang bisa dilakukan pada saat perayaan maulud bulan Rabi’al Awwal, pada waktu aruh perkawinan, atau bisa juga pada upacara tersendiri. Kemudian untuk upacara pemberian nama (batasmiah) lebih lazim dilakukan sebagai kegiatan yang berdiri sendiri, dan adakalanya diiringi dengan kegiatan mencukur tadi, tetapi kadang-kadang juga diikutsertakan dalam upacara lain. Untuk upacara ini juga bernuansa Islami dan bercampur dengan ritualitas dan kepercayaan adat setempat. Masyarakat Banjar juga sering mengadakan upacara Mengayun Anak yang dianggap jika sang bayi tidak mengadakan upacara ini konon akan suka rewel dan sakit-sakitan. (h. 231, 238, 240, 246)
2. Upacara Mandi
Berbagai upacara mandi yang ditemukan di lapangan ialah upacara mandi menjelang kawin pertama kali, upacara bagi seorang wanita yang pertama kali hamil, berbagai upacara mandi sebagai cara penyembuhan, dan mandi sebagai salah satu syarat atau bentuk amalan.
Tidak semua orang yang akan kawin atau wanita yang hamil pertama kali harus menjalani upacara mandi. Konon yang harus menjalaninya ialah yang keturunannya secara turun temurun harus menjalaninya pada upacara mandi hamil, mungkin si calon ibu sebenarnya bukan tergolong yang wajib menjalaninya tetapi konon bayi yang dikandungnya mungkin mengharuskannya melalui ayahnya, dan dengan demikian si calon ibu ini pun harus menjalaninya pula. Lalai melakukan upacara itu konon menyebabkan yang bersangkutan atau salah seorang anggotanya kerabat dekat “dipingit”. Sebagai akibat peristiwa “pemingitan” itu salah seorang kerabat dekat atau pengantin pingsan ketika upacara dan proses kelahiran berjalan lambat. Di dalam upacara mandi kawin atau hamil di Martapura kegiatan batumbang selalu merupakan bagian daripadanya. Meskipun jarang dilakukan, namun di Martapura tetap dianggap sebagai hal yang ideal, kedua upacara mandi tersebut dilaksanakan dalam sebuah pagar mayang, suatu bangunan persegi empat berukuran sekitar 1,5 x 2 m dengan berbagai prosese upacara yang dilakukan. (h. 259-260).
3. Kegiatan Ritual dalam Upacara Perkawinan
Kawin merupakan peristiwa penting bagi individu setelah basunnat (dan batamat). Perkawinan warga yang masih membujang sangat penting bagi kerabat dekatnya, keluarga batihnya dan juga bubuhannya. Hal ini terlihat, umpamanya, pada usaha untuk mengetahui mengapa seorang warga seolah-olah belum ada jodohnya juga dan mengobati agar jodohnya itu segera bertemu. Dalam rangka mengawinkan seorang warga, yang pertama kali akan menaiki pelaminan, semua warga bubuhan (kerabat dekat) dikumpulkan, dan untuk itu diselenggarakan aruh. Peristiwa aruh mengawinkan (bekakawinnan) dan kegiatan menyandingkan pengantin ketika itu adalah saat yang penting dan mengandung kemungkinan bahaya yang dapat menimpa pengantin atau anggota kerabatnya atau mengganggu jalannya pesta. Dengan demikian calon pengantin, yaitu khususnya gadis yang akan menghadapinya pertama kali dan pesta itu sendiri, harus dipersiapkan seksama. Kegiatan-kegiatan sebelum pesta, dalam rangka proses perkawinan, merupakan kegiatan persiapan tersebut. Anggapan demikian ini memang sudah menghilang, tetapi di kampong-kampung masih bertahan, juga dikalangan orang-orang yang agak terpelajar. Dapat diduga kalangan terpelajar ini, termasuk mereka mengenyam pendidikan agama, tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam lingkunan kerabat dekatnya, karena dilakukan dengan diam-diam atau dia tidak mau mengambil resiko bertentangan pendapat dengan anggota kerabatnya yang lebih senior atau tetangganya yang berpengaruh atau pendapat umum dalam masyarakat kampungnya. (h. 271-272).
4. Kegiatan Ritual Saat Hamil dan Melahirkan
Apabila tanda-tanda kehamilan belum juga tampak setelah perkawinan berjalan berbulan-bulan, dilakukan usaha-usaha untuk mengetahui sebab-sebabnya dan kemudian mengobatinya. Wanita yang mengetahui dirinya sedang hamil harus sadar bahwa ia menghadapi situasi yang berbahaya, karena itu ia harus mempersiapkan diri dan memperhatikan tabu-tabu hamil dan bagi wanita-wanita tertentu, pada umur kehamilan pertama tujuh bulan atau beberapa waktu sesudahnya, ia dimandikan secara upacara. (h. 281).
Upacara mandi tersebut harus dilaksanakan pada waktu turun bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ketiga bulan Arab. Apabila karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun matahari; upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam 14 dan tidak pernah setelah jam 16.
Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat puluh”, sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dengan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. (h. 264-265).
5. Kegiatan Ritual dalam Rangka Seputar Kematian
Dalam masyarakat Banjar masih berkembang prosese pengurusan jenazah secara Islam yang walaupun juga tidak bisa dipungkiri masih berkombinasi dengan kepercayaan masyarakat yang belum bisa dihilangkan.
Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian umumnya tidak selesai dengan dikuburkannya mayat. Ia diiringi dengan berbagai selamatan atau aruh, yaitu pada hari pertama (manurun tanah), pada hari ketiga (maniga hari), ke-7, ke-25, ke-40, ke-100, sesudah tahun dan setiap tahun (mahaul). (h. 305). Kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan peristiwa kematian dan penguburan, menurut Alfani Daud, tidak semuanya bisa direkam. Menurutnya, kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang menimpa seseorang setelah terkubur sebenarnya cukup tergambar dalam talkin yang dibaca segera setelah kuburan selesai ditimbuni. Konon ruh yang bersangkutan dikembalikan ke tubuhnya dan dengan demikian dapat mendengarkan petuah-petuah yang diberikan. Kepercayaan bahwa ada orang yang mati (ruhnya) menjadi hantu terdapat dimana-mana. Mereka ini menjadi hantu konon karena ‘mengaji ilmu’ tertentu dan mengamalkannya atau juga karena amalan agar menjadi kaya. Seorang (ruh) nenek moyang tertentu konon dapat ikut memelihara keselamatan anak cucunya.
Di lapangan berkembang anggapan bahwa tokoh-tokoh tertentu cikal bakal raja-raja Banjar tidak mati melainkan wapat, dan sampai sekarang masih hidup dalam dunia gaib. (h. 310-313).
6. Kegiatan Ritual Sekitar Mencari Nafkah
Di lapangan orang Banjar melakukan berbagai kegiatan ritual sewaktu-waktu diperlukan, terutama di sekitar mencari nafkah yang dalam hal ini sangat menonjol ketika melakukan kegiatan pertanian padi dan juga kegiatan mencari nafkah lainnya.
Ketika melakukan kegiatan mencari nafkah ada orang melakukan peramalan tentang waktu yang baik untuk memulai kegiatan tersebut, di samping melakukan berbagai tindakan religius atau tindakan magis, yang bermaksud agar kegiatan ekonomi yang dilakukan membuahkan hasil yang diharapkan atau guna menjaga kesalamatan. Tindakan-tindakan religius atau magis yang bertujuan untuk menjaga kesalamatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi ini hanya ada pada kegiatan berburu atau meramu di hutan dan mendulang intan atau emas. Peramalan atau berbagai tindakan religius sudah beransur menghilang, namun masih banyak yang tetap melakukannya. Aspek ritual ini agak rumit sifatnya pada pertanian padi dan penambangan intan atau emas, dan sangat sederhana pada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.
Pertanian padi di sawah umumnya melalui proses-proses: penyemaian bibit dengan berbagai tekniknya (1), penanaman sementara anak padi (2), penanaman terakhir (3), dan pemanenan dan kegiatan sesudahnya (4). Proses kedua sudah dilakukan di sawah, adakalanya tidak ada (seperti di sekitar Birayang), adakalanya dilakukan sekali atau beberapa kali (seperti di sekitar Martapura), tergantung jenis sawahnya. Kegiatan ritual yang banyak dilakukan ialah berhubungan dengan proses ketiga dan keempat, dan jarang atau kurang lazim berkenaan dengan proses pertama, dan tidak pernah dilaporkan berkenaan dengan proses kedua. Sebelum memulai proses-proses tersebut di atas, kelompok petani dalam wilayah tertentu biasa mengadakan semacam kegiatan yang dapat disamakan dengan aruh tahun, yaitu biasanya dinamakan selamatan padang. (h. 437-438)
7. Kegiatan Ritual Pada Saat Membangun Rumah dan Mulai Mendiaminya
Dalam rangka membangun rumah baru terlihat adanya empat aspek pokok yang berhubungan erat dengan system kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar, yaitu: (1) berkenaan dengan bidang tanah yang akan dijadikan lokasi rumah yang akan dibangun, (2) berkenaan dengan ukuran dan bentuk rumah yang akan dibangun, (3) berkenaan dengan waktu untuk memulai kegiatan membangun, dan (4) berkenaan dengan proses membangun rumah, dan berbagai kegiatan selamatan yang berhubungan dengannya, serta (5) kegiatan selamatan berkenaan dengan memulai mendiami rumah baru.
Tanah bekas perumahan lama konon dapat langsung dibangun rumah baru di atasnya, asal saja tanah itu terletak dalam kompleks pemukiman penduduk atau tidak terlalu lama ditinggalkan. Jika sekiranya tanah tempat rumah akan dibangun merupakan tanah yang belum pernah dibangun rumah di atasnya atau dahulu sudah pernah akan tetapi sudah lama kosong dan terletak jauh dari pemukiman penduduk, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan sebelumnya agar supaya rumah yang akan dibangun dan penghuninya tidak diganggu oleh makhluk-makhluk halus. Untuk memastikan apakah calon lokasi rumah itu jalan atau tempat tinggal orang gaib atau tidak salah satu cara adalah dengan meminta bantuan kepada seorang tokoh ulama tertentu untuk ‘memeriksa’ tanah tersebut.
Ukuran dan bentuk rumah ada pengaruhnya terhadap penghuni rumah umum diketahui, tetapi tidak berhasil diungkap norma-normanya yang konkret di kalangan masyarakat awam atau para tukang. Konon ukuran rumah dilambangkan dengan jenis binatang seperti naga, asap, singa, sapi, keledai, gajah, dan gagak.
Umumnya yang dianggap saat memulai membangun rumah (bamula batajak rumah) ialah saat menegakkan tiang penjuru yang jumlahnya selalu genap, yaitu 4, 6, 8, 10, atau lebih. Saat mendirikan tiang ini di mana-mana selalu dianggap sebagai saat yang penting, yang harus dilakukan dalam suatu upacara dan waktunya ditentukan dengan cermat. Di Hulu Sungai saat untuk mendirikan tiang-tiang penjuru yang paling baik ialah pada subuh hari Minggu dan tukang memulai pekerjaan persiapan (khususnya memahat) pada hari Minggu sebelumnya. Kedua hari Minggu ini, atau setidak-tidaknya saat mendirikan tiang, diusahakan agar jatuh dalam pertengahan pertama bulan Kamariah (naik bulan) dan tidak pada pertengahan kedua (turun bulan). Di Martapura khususnya di sekitar Dalam Pagar, terdapat anggapan konon baik memulai membangun rumah dalam bulan Shafar, khususnya pada 10 hari terakhir bulan itu, walaupun bisa saja juga dilakukan pada bulan-bulan lain.
Alfani Daud mengutip dari buku Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, menyebutkan adanya selamatan ketika memulai memasang pintu, ketika memulai memasang jendela, dan ketika memulai mendiami. Selanjutnya Alfani Daud menerangkan acara dimulai dengan membaca surat Yasin bersama, disusul dengan membaca qasidah Burdah oleh salah seorang, yang ditingkah beramai-ramai oleh hadirin lainnya, dan kemudian doa. Semua saji atau setidak-tidaknya nasi ketan dengan inti (gula merah) harus diantarkan kehadapan majelis pria sebelum doa dibaca. Doa yang dibaca ialah doa halarat. Acara diakhiri dengan makan bersama, kadang-kadang ditambah dengan kue-kue yang telah disajikan tadi, tetapi seringkali juga tidak. (h. 459-471).
8. Beberapa Kegiatan Ritual Lainnya
Berbagai kegiatan ritual lainnya diantaranya adalah dalam rangka perdamaian antar warga masyarakat, dalam rangka pergi haji dan merantau, kegiatan ziarah ke tempat-tempat keramat, dan kegiatan kolektif suatu komunitas mengusir wabah.
Suatu perselisihan di dalam masyarakat harus segera didamaikan, lebih-lebih bila darah sudah mulai tertumpah karena, bila tidak, konon akan menjalar dan mungkin akan mewabah. Hasil-hasil perundingan yang menyusul kemudian dengan ganti rugi semata-mata tidaklah cukup untuk mendamaikan kedua kerabat yang bermusuhan, melainkan perdamaian itu harus dinyatakan dalam suatu upacara atau selamatan yang diadakan khusus untuk keperluan tersebut. Selamatan ini dihadiri undangan-undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh kedua bubuhan yang bersengketa, tokoh-tokoh ulama dan tokoh-tokoh kampong lainnya, tokoh perantara yang sebelumnya telah berperanan, di samping tentu saja pihak-pihak yang bersengketa dan beberapa anggota kerabat dekatnya sebagai pendampingnya masing-masing. Dalam upacara ini ada dua kegiatan yang tampaknya pokok. Pertama, suatu pernyataan telah diadakannya perdamaian (babaikan) dan telah dijalinnya ikatan persaudaraan antara si korban (saudaranya, orang tuanya) dengan si pelaku. Kedua, upacara tepung tawar, yaitu berupa memercikkan minyak likat boboreh ke badan si pelaku oleh seorang tokoh bubuhan pihak si korban, yang kadang-kadang dibalas dengan kegiatan serupa oleh tokoh bubuhan pihak si pelaku terhadap si korban (saudaranya, orangtuanya). Adanya kegiatan yang terakhir ini sejak dahulu mungkin merupakan acara pokok dalam kegiatan selamatan ini, sehingga selamatan tersebut sampai sekarang sering dinamakan batapung tawar pula. (h. 472-473).
Pergi merantau (madam, balayar, berlayar, bepergian) untuk berniaga (dahulu) atau untuk menunaikan ibadah haji, dan saat ini utamanya pergi haji, biasanya dilepas dengan berbagai upacara, yang berkelanjutan sampai yang bersangkutan kembali. Maksud dari pada upacara-upacara ini tampaknya ialah keselamatan yang bepergian selama dalam perjalanan sampai kembali, jaminan bahwa ia akan bertemu kembali dengan anggota kerabat dekat yang melepasnya bepergian, peramalan dan harapan agar dihormati orang selama di rantau, dan pemberian restu saat berangkat dan saat tiba kembali. Pergi merantau untuk menetap selama beberapa waktu (untuk belajar, berniaga) atau untuk selama-lamanyadi Jawa atau daerah lain biasanya tidak dilakukan upacara serumit pada pelepasan berangkat haji, melainkan sekedar upacara sederhana saja menjelang berangkat atau bahkan hanya sekedar selamatan kecil pada suatu malam beberapa waktu sebelum berangkat. (h. 474-475).
Mengenai ziarah, bayi-bayi keturunan tertentu harus dibawa ziarah ke kuburan Syekh Arsyad, dan yang lain ke mesjid keramat tertentu. Mungkin ketentuan ini berkenaan dengan kuburan Syekh Arsyad juga berlaku bagi kuburan keramat lainnya dan situs candi Agung. Alasan mengapa bayi-bayi harus dibawa ziarah dan kemudian ditepung tawari oleh penjaga kubah atau kaum mesjid biasanya dikemukakan hanyalah karena bayi-bayi dari generasi terdahulu selalu dibawa ziarah. Lalai membawa ziarah konon dapat menyebabkan bayi tersebut sakit karena dipingit atau menurut warga Akar Bagantung karena kapidaraan Datu Baduk. Konon ada diantara ulama keturunan Syekh yang dipingit karena lalai melakukan tugas jaga di kubah beliau. Untuk menyembuhkannya diucapkan kaul untuk memenuhi kewajiban ziarah, yang segera dilaksanakan setelah sembuh. Alasan lain tentang kewajiban ziarah ini ialah karena kaul. Sanksinya juga dipingit, dalam arti dibuat sakit. Di lapangan memang diketahui ada yang meikrarkan kaul akan ziarah atau akan membawa ziarah, bila suatu hajat tertentu terpenuhi (sembuh dari sakit, tamat mengaji, lulus ujian, selamat pergi haji, berhasil mendulang, memperoleh jodoh yang sesuai, dan lain sebagainya). Para peziarah biasanya membawa penganan tradisional, yaitu apam, cucur, nasi ketan (dengan inti atau gula merah), wajik, tapai ketan, dan pisang (khususnya pisang talas); ada juga yang menggantinya dengan roti atau kue-kue lain (tidak pernah kue kalengan). Sekali-kali ada yang membawa ayam atau kambing hidup. Dan biasanya mereka selalu membawa bunga, khususnya berupa untaian (kambang barenteng). Peziarah biasanya langsung pergi bersimpuh di hadapan makam, sebagian ada yang membaca surah Yasin, atau surah Al-Mulk (tabarak), atau fatihah empat (Q.S. 1, Q.S. 112, Q.S. 113, Q.S. 114), ada yang membaca qulhu (Q.S. 112) berulang-ulang, dan mengucapkan kaulnya; jarang ada yang berdoa. Banyak para pengunjung memasukkan uang ke dalam peti besi yang telah disediakan. (h. 482-483).
Bila suasana ‘panas’nya bulan Safar dirasakan meningkat, yang konon ternyata dari banyaknya peristiwa yang dapat dikategorikan bala bencana atau peristiwa persengketaan dalam masyarakat, dan demikian pula bila terjadi wabah penyakit menular, wabah kebakaran, kekeringan, atau hama tanaman, diusahakanlah untuk mengatasinya. Usaha mendinginkan suasana konon dapat dilakukan oleh perseorangan-perseorangan atau secara bersama dengan membaca syair Burdah, yang diyakini berkhasiat dinginan. Bila suasana dianggap meningkat tajam, biasanya atas inisiatif tokoh-tokoh mereka, yang antara lain ialah ulama (terkemuka), suatu lingkungan pemukiman tertentu melakukan kegiatan berpawai mengusir wabah. Acaranya dimulai di rumah ibadah (langgar atau mesjid), biasanya setelah selesai shalat isya bersama. Mereka mengadakan shalat hajat bersama, kadang-kadang sebelumnya membaca kitab Bukhari, membaca surah Yasin bersama, lalu berpawai mengelilingi lingkungan pemukiman dan atau lingkungan persawahan mereka (yang akan dilindungi). Ketika berpawai mereka mengarak kitab Bukhari dan meneriakkan mantra sakti, yang konon berfungsi menakut-nakuti ‘hantu’ penyebar wabah. Menurut Alfani Daud, mantra sakti itu, yang dibaca berulang-ulang, berwujud syair berbahasa Arab berbunyi sebagai berikut: “Bagiku lima, aku berlindung dengannya dari panasnya wabah yang paling terik sekalipun, (Yaitu) si yang terpilih (Muhammad), si yang diridhai (Ali), kedua anak mereka (Hasan dan Husin, anak Ali dan Fatimah), dan Fatimah.” Setelah berkeliling rombongan pawai kembali ke rumah ibadah dan acara diakhiri dengan membaca doa tolak bala. (h. 486).
Di lapangan terungkap berbagai alasan kegiatan selamatan. Bila kegiatan panen telah selesai, bila kegiatan-kegiatan dalam rangka mengawinkan, dalam rangka menguburkan seorang warga, dan membangun rumah telah selesai; bila suatu keluarga terhindar dari musibah (yang lebih besar), bila seorang anggota rumah tangga terhindar dari kecelakaan atau terhindar dari bahaya yang lebih berat; dan bila seorang anggota rumah tangga telah berbuat salah, konon sebaiknya diadakan selamatan. Hidangan yang disiapkan untuk ini ialah nasi ketan (dengan inti) dan doa yang dibaca ialah doa halarat, dan kegiatan yang dilakukan dinamakan bahalarat. (h. 486-487).
Berbagai upacara dan tindakan tersebut antara lain bermaksud mengusahakan hari depan yang baik: perlakuan dan tindakan upacara untuk bayi, melepas kerabat pergi haji, merangsang rezeki keluarga, dan seterusnya. Selain itu berbagai amal bacaan konon akan terbebas dari api neraka. Di lapangan usaha mempengaruhi kehidupan yang akan datang, dalam arti di dunia ini juga atau kehidupan di akhirat kelak, dilakukan dengan berbagai cara. Yaitu yang diusahakan dengan memanfaatkan tuah benda-benda sakti, khasiat rumusan-rumusan yang dilukis (wafak-wafak) atau dibaca berulang-ulang (amalan bacaan), dan yang diusahakan dengan cara balampah (bertapa).
Masalah-masalah yang dihadapi berkenaan dengan kehidupan di dunia ini antara lain jodoh, kurang kecerdasan, memperoleh kataguhan (taguh, kebal) atau kuat fisik (gancang, kuat mengangkat atau membawa barang-barang berat, tetapi juga berarti kuat memukul), supaya disegani orang atau dihormati orang, dan kemudahan memperoleh rezeki. Masalah-masalah ini diatasi dengan memanipulasi benda-benda sakti (termasuk wafak-wafak), mengamalkan amalan-amalan bacaan tertentu, dan melakukan kegiatan balampah, yang terakhir ini kata bahasa Banjar untuk bertapa. Selain daripada itu amalan-amalan bacaan tertentu konon berfungsi pula untuk menyelematkan yang bersangkutan dari siksa akhirat tertentu. (h. 488).
D. AJARAN ISLAM DALAM ASPEK KEHIDUPAN ORANG-ORANG BANJAR
Alfani Daud menerangkan yang dimaksud dengan ajaran Islam dalam bagian buku yang ditulisnya adalah segala bentuk kelakuan yang bersumber dari ajaran Islam atau dapat diduga bersumber dari ajaran Islam, meskipun mungkin bersifat sebagian saja. (h. 141). Lebih lanjut dia memaparkan bagaimana eksistensi ajaran Islam melingkupi kehidupan masyarakat Banjar secara umum sebagai berikut.
Rukun Iman, aspek kepercayaan yang pokok dari ajaran Islam, biasanya diajarkan tidak secara sistematis. Namun demikian, sebagai hasilnya anak-anak biasanya hapal berbagai sifat Tuhan, nama-nama kitab yang telah diturunkan kepada para rasul, nama-nama nabi yang terkemuka, meskipun tidak seluruh rasul yang berjumlah 25 orang itu, tetapi selalu termasuk nabi Hidr (dalam masyarakat diucapkan sebagai Haidir), nama-nama malaikat yang pokok-pokok, dan tentang suasana hari kiamat. Juga kepada anak ditekankan agar supaya ‘tawakkal’ kepada Allah, sebagai suatu aspek dari kepercayaan kepada takdir, meskipun dengan paham yang sangat kabur. (h. 144).
Pada masyarakat Banjar, anak-anak sudah dididik untuk belajar mengaji. Selain itu, si anak juga diberikan pelajaran tentang pokok-pokok ajaran Islam, cara-cara dan bacaan sembahyang sehari-hari, cara berpuasa, dan lain-lain. Guru biasanya mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam tersebut secara sambil lalu dan kemudian menyuruh anak didiknya menghapalkan bacaan-bacaan tertentu. Saat-saat tertentu (menjelang bulan puasa, hari Jum’at, hari-hari besar Islam, atau beberapa waktu sebelumnya) selalu dimanfaatkan untuk menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan hari atau saat tersebut, baik oleh guru mengaji dan demikian pula oleh orang tua si anak. (h. 146).
Ajaran Islam telah menjadi bagian yang integral dari kebiasaan masyarakat Banjar dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Banjar itu sendiri. Ajaran Islam telah menjadi bagian dari kehidupan keluarga. Syarat-syarat dan prosedur pernikahan sama sekali berdasarkan ajaran fikih, dan demikian pula halnya dengan cara-cara memperoleh perceraian. Meskipun dalam kenyataannya sistem pewarisan yang berlaku tidak selalu sejalan dengan cara pembagian warisan berdasarkan hukum fara’id, namun cara pewarisan yang terjadi selalu mengingat hukum Islam, dan cara yang dilakukan selalu diyakini sebagai sesuai dengan ajaran Islam. Berbagai transaksi dalam masyarakat diusahakan menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan fikih. Berbagai hal, khususnya hal baru, sering dipertanyakan apakah hukumnya ditinjau dari segi hukum Islam yang lima: halal atau mubah, haram, wajib, sunat, dan makruh.
Dalam masyarakat Banjar, sesuatu kegiatan (dalam hal ini jual beli dan gadai) diusahakan terjadi sesuai dengan ajaran Islam. Sehubungan dengan konsep pahala; suatu transaksi biasa oleh kalangan tertentu dijadikan formal sebagai transaksi hadiah atau sedekah dalam fikih, sehingga menjanjikan pahala bagi yang melaksanakannya.
Berbagai kegiatan ritual dioper dari ajaran Islam, dan berbagai kegiatan ritual yang mungkin asli masyarakat Banjar telah memperoleh isi yang terambil dari ajaran Islam. Mungkin hal itu, menurut Alfani Daud, terjadi sebagai suatu kompromi, dan kompromi demikian itu masih terjadi beberapa waktu yang lalu. (h. 189).
E. ISLAM & BUDAYA MASYARAKAT BANJAR
Proses tersebarnya Islam di dalam masyarakat Banjar, sejak dari kalangan istana di tingkat pusat sampai ke masyarakat awam di tingkat terbawah. Alfani Daud menulis, pada tingkat pusat bubuhan raja-raja memeluk Islam, yang dipelopori oleh kepala bubuhan (baca; raja). Hikayat Banjar, yang dikutip Alfani Daud, mengisyaratkan bahwa keputusan raja ini merupakan hasil kesepakatan bersama dalam rapat antar sultan dan pembantu-pembantunya. Kelakuan raja ini diikuti oleh para pembesar istana dan pejabat tinggi kerajaan (baca; oleh anak buahnya dan kepala-kepala bubuhan bawahannya). Para pembesar istana dan pejabat tinggi kerajaan ialah tokoh bubuhan pula pada tempatnya masing-masing, dan kelakuannya ini diikuti pula oleh masing-masing anak buahnya dan tokoh-tokoh bubuhan yang takluk kepadanya. Selain itu peralihan agama terjadi pula sebagai akibat tidak langsung dari perkawinan seseorang (pedagang, bangsawan) yang beragama Islam dengan wanita Dayak.
Ketika suatu bubuhan memutuskan untuk beralih kepercayaan, mungkin memang ada tokoh yang tidak bersedia ikut memeluk Islam, dan ia memang bersikap tidak menghalangi anak buahnya meninggalkan religi sukunya, seperti tampaknya bakal terjadi di Labuhan sekitar tahun enam puluhan. Tetapi ketika Islam sudah meliputi keseluruhan bubuhan, selain dirinya, ia bersikap pasif, dalam arti membiarkan anak buahnya melakukan aktifitas-aktifitas religi barunya, sedangkan ia tidak serta, tetapi juga tidak secara aktif lagi melakukan aktifitas lamanya. Bila yang tidak bersedia mengikuti jejak bubuhan atasannya, atau merupakan suatu keluarga batih yang relatif utuh, mereka pada mulanya memang aktif membantu tetangganya itu, tetapi lama-kelamaan merasa terdesak lalu akhirnya memisahkan diri.
Menurut Alfani Daud, proses Islamisasi juga diwarnai oleh sistem kepercayaan masyarakat Banjar pada mulanya. Menurutnya, mungkin ini dimulai oleh Syekh Arsyad yang membuka pengajian di Dalam Pagar sekitar dua atau tiga dasa warsa terakhir abad ke-18, akhirnya berbagai kampung pada zaman dahulu menjadi orientasi pengajian bagi kampong-kampung di sekitarnya atau bahkan wilayah yang lebih luas lagi. Kampong-kampung tersebut memiliki seorang atau lebih ulama atau lainnnya yang memberikan pengajaran agama bagi masyarakat awam di sekitarnya atau bagi calon-calon ulama yang berdatangan dari kampong yang jauh-jauh.
Pokok-pokok kepercayaan (dan kewajiban) dalam agama Islam terkandung dalam rukun iman (dan rukun Islam). Yang kesemuanya termuat dalam kitab perukunan, yang dapat dikatakan menjadi kitab pegangan sehari-hari umat Islam di kawasan ini. Namun di sisi lain, umat Islam di kawasan ini juga percaya kepada makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib, yang tidak dibicarakan dalam kitab perukunan dan juga dalam Alquran.
Alfani Daud telah memaparkan bagaimana kontak kebudayaan masyarakat Banjar dengan Islam. Dalam bukunya juga diterangkan bahwa di kawasan Kalimantan Selatan, Islam berkembang dengan cepat karena telah berhasil memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di lingkungannya masing-masing. Berbagai kepercayaan bersangkutan dengan bubuhan dan lingkungan masih tetap bertahan, sebagian diantaranya, atau belakangan, diinterpretasikan kembali.
Di dalam ajaran Islam banyak dijelaskan tentang kepercayaan terhadap para malaikat, para wali, juga sekaligus tentang iblis, jin, dan setan. Hal ini di lapangan akhirnya mempunyai interpretasi tersendiri oleh masyarakat Banjar; adanya para ulama Banjar yang dianggap wali dan bila wafat dianggap keramat, begitu juga tentang iblis, jin, dan setan yang lebih popular di lapangan sebagai hantu. Begitu juga banyaknya ajaran Islam yang lain yang diberi interpretasi untuk pegangan dalam menjalani kehidupan masyarakat. Sehingga hal ini menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan masyarakat Banjar, bahkan mungkin di era modern ini, dan ini juga sangat jelas terimplikasi dalam kegiatan ritual-ritual seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Alfani Daud menyimpulkan bahwa demikianlah dua sistem kepercayaan, system kepercayaan Islam dan system kepercayaan bubuhan, masing-masing dengan seperangkat nilai yang berdasarkan padanya, berdampingan satu sama lain, dan masing-masing dengan pola-pola kelakuan sendiri-sendiri. Berbagai kepercayaan bubuhan diinterpretasikan kembali atau dimodifikasi sehingga dapat diterima seolah-olah bagian dari sistem kepercayaan Islam.
F. PENUTUP
Demikianlah Alfani Daud menulis yang kami resume secara singkat dari bukunya yang kurang lebih berjumlah 600 halaman tersebut tentang bagaimana kehidupan orang-orang Banjar baik dilihat dari aspek geografis mereka tinggal maupun bagaimana mereka berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, yang bisa saja untuk masalah ini masih bisa ditinjau ulang seiring dengan perkembangan zaman yang tidak dapat dipungkiri akan selalu ada yang berubah dan masih menyisakan ruang lingkup yang luas seluas kawasan Kalimantan Selatan ini. Begitu juga ketika membicarakan wacana budaya masyarakat Banjar itu sendiri yang akan selalu menjadi bahan benturan dengan akidah dan budaya Islamiyyah akan selalu melihat relevansi waktu yang terus berputar dan semuanya akan sangat tergantung perkembangan pemahaman religiusitas masyarakat disamping besarnya pengaruh pendidikan yang semakin maju dan era globalisasi yang lambat laun menyisihkan dan bisa saja mengikis budaya setempat. Semua ini akan menjadi sebuah wacana baru di era sekarang; apakah akidah Islam sesungguhnya adalah sebuah ajaran yang harus bebas dari budaya dan adat suatu kawasan dengan berpegang teguh kepada doktrin-doktrin normative, sementara tidak ada orang Banjar atau bahkan dari suku-suku lain pun yang memungkiri bahwa budaya atau suatu adat daerahnya sangat sarat dengan nilai-nilai magis dan kepercayaan nenek moyang atau kepercayaan luar yang mempengaruhinya sulit untuk dilepaskan begitu saja, baik seperti yang diungkapkan juga oleh Alfani Daud, sekalipun orang tersebut dari kalangan akademis. Uniknya adalah ketika suatu budaya menjadi sangat mahal, justru banyak kalangan yang akan selalu ingin menghidupkan budayanya terlepas dari wacana agama, selain sebagai suatu aset berharga suatu daerah atau Negara. Ini adalah fenomena baru yang akan menjadi PR baru pula bagi umat Islam bagaimana akidah Islam akan tetap menjadi pegangan hidup semurni-murninya yang berlandaskan Alquran dan Sunnah Rasul SAW dan bagaimana kita selaku umat Islam yang juga hidup berbangsa dan bertanah air tetap bisa menghargai dan kalau perlu kita lah justru orang-orang yang akan terus menghidupkan budaya bangsa yang kita cintai ini tanpa melepaskan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya indah, baik, universal, dan rahmatan lil ‘alamin. Wallahu A’lam bis Shawab.