Before U Read and Get Information From Me

Please... Give Me a Gift.
No Difficult.
No Expensive.
No More.

Give Me a Gift; "The Fatihah 4"
Okeyy.

Kamis, 30 Desember 2010

My Story Collection_13

Mungkin perjuangan hidup tidak selamanya untuk kebaikan dan kebahagiaan kita tapi untuk kita persembahkan buat orang-orang yang kita cintae.

Jumat, 03 Desember 2010

My Story Collection_12

Dalam fase kehidupan manusia akan selalu ada yang berubah. Ada hal yang harus diusahakan oleh manusia itu sendiri dan ada yang sudah menjadi ketetapan dari Allah swt.. Begitu juga mengenai fase dimana seseorang mendapatkan pendamping hidupnya. Aku, dan mungkin masih beribu-ribu kaum hawa laiin lagi, yang tidak pernah menyangka kalau pendamping hidupnya adalah laki-laki yang tidak pernah dikenal dan tiba-tiba saja dia yang akan menjadi orang yang ada dalam suka dan duka dalam meniti liku-liku kehidupan. Mungkin prinsif kebaikan, kebenaran, kesungguhan, keikhlasan, dan kesediaan untuk bisa salink menerima dan memberi adalah yang sekarang aku cam kan dalam hatiku saat ini untuk menjalane semua ini. The last, i hope i be able to love him and he can too together and forever.

Jumat, 12 November 2010

Paper of Moety@; "Hyperreality"

TERKURUNG DI ANTARA REALITAS-REALITAS SEMU;
ESTETIKA HIPERREALITAS & POLITIK KONSUMERISME


Tulisan artikel yang dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol.V, Th.1994, pada bab Sastra, oleh Yasraf A.Piliang tersebut merupakan tulisan untuk merespons perkembangan dan kemajuan sains, ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, khususnya yang dialami bumi pertiwi kita, Indonesia Raya tercinta ini. Kalau Yasraf A.Piliang mengatakan Marshall McLuhan menulis tentang “hiperrialisasi kehidupan” pada saat awal perkembangan teknologi komputer dan televisi sekitar tahun 1964, maka seperti yang kita ketahui, tahun 1994, pada saat Yasraf A.Piliang menulis pun, adalah masa yang mulai gencar ditawarkan oleh dunia berbagai macam fashion kehidupan. Ini terlukis dari uraian kata-kata Yasraf A.Piliang dalam artikelnya tersebut tentang “disket, shampoo sunsilk, celana Jean Levy Strauss, shoping mall, dsb.” Yang semua hal itu adalah tanda-tanda kemajuan saat itu.
Namun, tanpa melakukan kritik yang sama kita juga mengakui bahwa era 2010, masa kita sekarang, yang mana saya dalam hal ini me-review tulisan Yasraf A.Piliang, jauh lebih banyak lagi yang ditawarkan arus globalisasi dan masa yang akan datang pun akan selalu ada perubahan. Lihat saja adanya layanan facebook, twitter, blogspot, plasdisk/CD-Room, dan sebagainya. Belum lagi produk-produk makanan, pakaian, dan sebagainya yang beraneka warna, gaya, rasa, dan tetek bengek lainnya. Masa sekarang atau yang disebut era kontemporer jauh lebih banyak hal yang belum ditawarkan dunia pada saat Yasraf A.Piliang menulis tentang bagaimana dia melihat kebenaran teori Jean Baudrilllard cs. dalam melihat perilaku manusia dalam menyikapi kehidupannya di era modernisasi.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa menyimak review tulisan Yasraf A.Piliang “Terkurung di Antara Realitas-Realitas Semu; Estetika Hiperrialitas & Politik Konsumerisme” berikut ini.
Yasraf A.Piliang menceritakan bahwa ada satu pengalaman penting yang menandai perkembangan masyarakat, seni, dan kebudayaan dunia belakangan ini—dan ini dalam kepekatan tertentu juga dialami di Indonesia. Suatu pengalaman transformasi dalam cara manusia “melihat diri sendiri” secara ontologis diantara obyek-obyek kebudayaan ciptaannya, dan dalam cara manusia membangun “citra diri” dan menyusun “makna kehidupannya” secara diskursif melalui obyek-obyek dan media-media (massa) dalam satu ruang dan waktu yang membatasinya—pengalaman hidup dalam ruang yang oleh Jean Baudrillard disebut “realitas semu” (hyper-real).
Selanjutnya Yasraf A.Piliang menguraikan bahwa dalam masyarakat modern telah terjadi semacam “ketidaksadaran massal” akan terjadinya transformasi, akan berlangsungnya “pembentukan kembali diri” dan perumusan kembali “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu”.
Menurut Yasraf A.Piliang, penjelmaan dunia “realitas semu” ini, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme dalam ekonomi pada tingkatnya yang mutakhir di Barat. Perkembangan mutakhir teknologi informasi, komoditi, dan tontonan sebagai tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme telah memungkinkan manusia masa kini “melihat dirinya sendiri” sebagai refleksi dari citra-citra yang ditaburkan oleh cermin-cermin komoditi, dan tontonan-tontonan ini. Ideologi kapitalisme mutakhir yang menyerakkan benih-benih komoditi dan tontonan, dan memanen keuntungan dari “nilai tukarnya”, tidak saja mengharuskan arus produksi dan konsumsi yang konstan, akan tetapi konstan dalam “kecepatan” yang bersaing.
Dalam percepatan deru mesin pada masyarakat kapitalis mutakhir, yang disebut Foucault sebagai “masyarakat konsumer”, yang dihasilkan melalui wacana kapitalis tidak lagi sekadar “obyek” dan “subyek”, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang disebut “differensiasi”, yaitu suatu proses membangun identitas berdasarkan perbedaan produk, penampakan, dan gaya hidup. Hal ini menjadi satu kata kunci dalam wacana kapitalisme, ia menjadi ideologi dari kapitalisme mutakhir itu sendiri. Sementara, kata “tua” menjadi sebuah kata yang bagaikan wabah lepra yang menakutkan bagi kapitalis (misalnya mobil tua, sepatu tua, baju tua, rumah tua, wajah tua, atau barangkali isteri tua…). Pada akhirnya, proses “peremajaan” melalui “differensiasi” seakan-akan menjadi semacam keharusan dalam wacana kapitalisme. Detak jantung kapitalisme sebenarnya bersumber dari proses peremajaan abadi ini, yang hampir mencakup segala aspek kehidupan dalam wujud komoditi. Pusat kebugaran, jogging, kursus kecantikan, senam seks, kursus kepribadian, salon mobil, pusat sale—semuanya merupakan manifestasi dari trauma kapitalisme terhadap “ketuaan” dan kegairahannya pada keremajaan. Di dalam wacana kapitalisme, keremajaan itu sendiri menjadi sebuah komoditi, dan komoditi ini—melalui makna-makna yang ditanam di dalamnya—pada gilirannya menjadi tiang-tiang penopang dunia “realitas semu”.
Marshall McLuhan adalah orang yang pertama kali dianggap sebagai orang yang membuka perbincangan mengenai proses “hiperrialisasi” kehidupan. Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Understanding Media, The Extensions of Man yang diterbitkan sekitar empat dekade lalu. Ia meramalkan bahwa peralihan dari era teknologi mekanik ke era teknologi listrik di Barat akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai “perpanjangan” manusia menuju perpanjangan tahap akhirnya; dari perpanjangan badan di dalam ruang, menuju perpanjangan sistem syaraf. Bila dalam era mekanik, sebuah mesin ketik, misalnya, dapat “memperpanjang” tangan manusia, dalam era teknologi elektronik, komputer dapat “memperpanjang” sistem syaraf manusia.
Jean Baudrillard—meskipun berpandangan nihilis dan fatalis terhadap perkembangan teknologi informasi—merupakan “perpanjangan tangan” dari pemikiran-pemikiran McLuhan. Ia mengangkat pandangan-pandangan McLuhan tentang “perpanjangan tangan” dan “desa global” atau “dunia yang tak lebih besar dari sebuah layar kaca atau sebuah disket” ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini telah menjelma menjadi sebuah desa hiper-realitas. Perkembangan mutakhir sains dan teknologi di Barat seperti yang diramalkan McLuhan, menurut pandangan Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, bahkan lebih fantastis lagi, mampu menghasilkan duplikat manusia; mampu menyulap fantasi, halusinasi, ilusi, atau science-fiction menjadi nyata; mampu mereproduksi masa lalu dan nostalgia; mampu melipat-lipat dunia, sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca, disket atau memory bank. Robot, yang pada awalnya diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah menjelma menjadi “saingan” manusia sendiri (misalnya dalam lapangan kerja, olahraga catur, atau kecerdasan).
Bagi Baudrillard, penciptaan dunia kebudayaan dewasa ini mengikuti satu model produksi yang disebutnya ‘simulasi’—“…penciptaan model-model nyata yang tanpa asal usul atau realitas”—hiperrialitas.
Realitas-realitas (territorial) sosial, kebudayaan, atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak, atau tokoh-tokoh kartun. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami satu ruang realitas, yang mana perbedaan antara yang “nyata” dan “fantasi” atau yang “benar” dan “palsu” menjadi sangat tipis –manusia hidup di dalam suatu ruang “khayali yang nyata”.
Yang menarik disimak, menurut Yasraf A.Piliang, dari pandangan-pandangan McLuhan dan Baudrillard adalah kedua pemikir ini melihat ketidakterpisahan antara perkembangan sains dan teknologi, penggunaan ruang dan waktu dan proses kapitalisme di Barat.
Meskipun muncul banyak kekhawatiran akan dampak perkembangan sains dan teknologi, eksploitasi sumber daya alam, dan penggunaan ruang dan waktu yang bergaya kapitalisme –misalnya, apakah semuanya harus diukur semata dengan profit dan interest rate, atau haruskah dicari model pengembangan lain, misalnya model pengembangan yang berwawasan lingkungan, namun tampaknya masih sulit bagi masyarakat kapitalisme Barat untuk meninggalkan model segi tiga waktu-ruang-uang sebagai bentuk kekuatan sosial mereka. Marshall Berman, seorang kritikus Amerika misalnya, melihat bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas kapitalisme, pada kenyataannya tak lebih dari sebuah “kemajuan semu”. Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam kehidupan; menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba menyatukan dunia; namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik; ia hanya menghasilkan kesatuan dalam ketidakbersatuan. Manusia modern, pada kenyataannya telah digiring ke dalam sebuah ruang kontradiksi.
Manusia dibentuk secara historis dan kultural dalam wacana-wacana di dalam sebuah ruang. Ruang merupakan sebuah “wadah” bagi beroperasinya “kekuasaan”, yang selalu menentukan gerak langkah sebatang tubuh manusia dalam proses sosial di dalamnya. Dick Hebdige menegaskan, kekuasaan dalam wacana masyarakat konsumer telah diputarbalikkan –dari lobi-lobi politik, kekuatan militer, parlemen, ke media massa, periklanan, window display, industri hiburan, fashion show, pertandingan sepak bola, celana Jean Levy Strauss atau Shampoo Sunsilk—kekuasaan-kekuasaan yang langsung menyentuh tubuh, kulit, rambut, kamar tamu, mobil, dan sebagainya, disebabkan semuanya menawarkan kesenangan, kegembiraan dan kemudahan; kekuasaan-kekuasaan yang memungkinkan setiap individu untuk menentukan posisinya sendiri dalam wacana-wacana yang ditawarkan oleh kapitalisme, yang bersifat plural, mengalir, berubah dan indeterminan.
Sementara itu, proses penaklukan ruang atau sebut saja “pelipatan” ruang oleh kapitalis telah mengalihkan perhatian masyarakat konsumer ke dalam ekstase konsumerisme dan komunikasi. Pelipatan ruang itu sendiri akhirnya menjadi unsur penting dalam wacana konsumerisme—ia menjadi komoditi. Wacana konsumerisme memungkinkan masyarakat dunia mendiami satu ruang yang disebut Baudrillard ruang “simulacrum”, yaitu ruang yang disarati oleh duplikasi dan “daur ulang” berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda (dalam wujud komoditi) dalam satu ruang dan waktu yang sama –ruang yang memungkinkan masyarakat di Indonesia, misalnya, mengikuti kejadian-kejadian aktual atau model-model yang lagi hangat di New York secara langsung. Siapa pun dapat menyaksikan dan “mengalami” dunia secara keseluruhan dan utuh dengan mengkonsumsi acara TV atau melalui sebuah disket. Ini lah miniatur dari dunia, satu wadah di mana fragmen-fragmen dunia dilipat.
Maka, setelah ruang dan waktu merupakan bagian penting dari budaya konsumerisme, unsur berikutnya adalah “kecepatan”—ia juga menjadi komoditi. Paul Virilio, seorang kritikus Italia, melihat “kecepatan” dalam wacana kapitalisme tidak semata-mata merupakan fenomena sosial dan ekonomi, akan tetapi juga politik dan estetik.
Mengikuti cara pengkajian Virilio yang metaforik, dapat dibuat satu perumpamaan bahwa kapitalisme pada tingkatnya yang advanced sekarang ini, pada hakikatnya tak berbeda antara apa yang terjadi pada para pembalap di sirkuit mobil, para ahli di pusat strategi militer, para produser dan pekerja di pabrik, atau para konsumer di pusat perbelanjaan –semuanya sama-sama berpacu dalam kecepatan. Fenomena “histeria” terhadap kecepatan ini seakan-akan merupakan “realitas” yang tak dapat dielakkan dalam wacana produksi dan konsumsi kapitalisme yang bersifat global dewasa ini. Para ilmuwan berpacu dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang pada akhirnya menjadi bagian dari tujuan dari komersil; para produser multinasional berlomba dalam memperoleh akses terhadap informasi tentang pengetahuan, strategi atau “rahasia teknologis” untuk menciptakan produk yang unggul, yang untuk itu diperlukan agen-agen rahasia sains dan teknologi; di supermarket-supermarket, para retailer juga berlomba dalam memasarkan produk-produk baru dengan “window display” sebagai senjata utamanya; dan di dalam televisi perusahaan-perusahaan yang sama berpacu dalam kecepatan pencitraan melalui iklan-iklan. Sementara di lain pihak, dalam kecepatan yang sama, para konsumer juga berlomba dalam mendapatkan barang-barang baru, citra-citra baru, serta gaya-gaya baru, dan meremajakan yang sudah ada.
Mengalirnya fashion di pusat-pusat perbelanjaan dalam kecepatan yang tinggi memberikan cara yang sangat efektif dalam memacu percepatan produksi-konsumsi. Ini tentunya tidak hanya berlaku pada model pakaian, tetapi juga pada model barang konsumer lainnya, termasuk kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup dan rekreasi, yang kini bernaung di bawah panji-panji fashion. Pelipatan waktu produksi dan konsumsi dalam bentuknya yang ekstrem melalui sistem fashion memungkinkan konsumer untuk mengganti produk mereka setiap hari. Pelipatan waktu semacam ini telah menggiring masyarakat konsumer (Barat) ke dalam budaya serba instant (instant food, fast food, instant furniture, dsb.).
Maka, tak pelak kalau Virilio menyindir masyarakat kapitalis Barat sebagai masyarakat yang hidup dalam ruang “epilepsi”, yaitu ruang yang disarati oleh “…kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tak terduga, yang tidak lagi sekadar berkaitan dengan tekanan dan represi, akan tetapi dengan interupsi (melalui percepatan), muncul dan menghilangkan dunia rill…”
Wacana kapitalisme disarati oleh simpang-siur tanda-tanda dalam komoditi, iklan, dan tontonan, yang muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi. Dalam hutan rimba tanda-tanda ini, konsumer kapitalis mengambil posisi bagaikan sebuah jaring laba-laba –ia menjaring apa pun (tanda, produk, citraan, atau gaya) yang lewat, namun tak mampu memahami nilai dan makna apa-apa darinya, disebabkan perhatiannya terperangkap oleh kegairahan percepatan pergantian ini. Jaring-jaring laba ini menjerat mereka dalam siklus kehidupan yang disebut Jameson “perubahan abadi”—kairos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu), sehingga tak mampu lagi menemukan siklus kedalaman chronos (nilai-nilai mitos, spiritual, ideologi).

Di dalam wacana kapitalisme, estetika merupakan produk dari sistem percepatan produksi konsumsi sebagai akibat dari komodifikasi produk-produk secara total. Trik-trik dalam media televisi –yang tidak saja mampu menciptakan efek, slow motion, akan tetapi juga fast motion—telah membuka jalan yang lapang bagi intervensi “kecepatan” ke dalam estetika. Namun dalam wacana estetika percepatan ini ada lampu merah yang perlu menjadi satu peringatan. Bahwa intervensi kecepatan yang berlebih-lebihan ke dalam estetika dikhawatirkan akan menyebabkan lunturnya ‘intensitas’ dalam obyek-obyek estetik, sebab intensitas dalam seni lebih dimungkinkan tercipta melalui perenungan..
Rangkaian tontonan-tontonan yang disuguhkan oleh media massa kapitalisme mutakhir, menurut Baudrillard, telah menyulap individu-individu menjadi sekumpulan “mayoritas yang diam”. Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media menjadikan massa yang diam tersebut menjadi layaknya sebuah layar raksasa –yang segala sesuatu (tontonan film, informasi berita, iklan, psikologi popular, tip diet, fitness pagi) mengalir melalui mereka, segala sesuatu menarik mereka bagaikan magnet, namun tidak ada bekas (nilai, makna luhur) apa-apa yang ditinggalkan. Televisi, mislanya, bisa menarik massa ratusan juta orang untuk sebuah tontonan sepak bola dini hari. Namun, apakah bekas “makna” (ideologis, moral, mitologis, spiritual) yang ditinggalkan oleh tontonan itu perlu dipertanyakan lagi.
Rangkaian cerita (televisi, film) yang menyuguhkan simulacrum kekerasan, kriminalitas, dan seksualitas –yang berbentuk “fantasi yang nyata”, yang lebih keras, lebih kriminil, lebih seksual dari yang dapat dibayangkan akal sehat—telah membentuk penonton-penonton yang lebih banyak hidup dalam “kepanikan missal”, yang semakin menjauhkannya dari makna-makna luhur: kepanikan seks (bayangkan kasus Gigolo in the Murder), kepanikan uang (kasus mega korupsi), atau kepanikan ekstase (suntikan ekstase). Massa yang panik ini menyerap segala energi sosial, akan tetapi tak mampu lagi membiaskannya. Ia menyerap setiap tanda dan setiap makna, akan tetapi tak mampu lagi memantulkannya.
Sirkulasi suguhan-suguhan ekstase, keterpesonaan, kecabulan, kekerasan (yang beroperasi bagaikan sebuah suntikan “Ekstase”) hanya menghasilkan massa yang “mabuk” atau “kecanduan” akan sirkulasi penampakan tontonan. Ia hanya mengembangkan “hawa nafsu” yang tanpa ada batasnya. Di hadapan massa yang “mabuk” dan “kecanduan” akan kedangkalan ritual tontonan ini, penyuntikan pesan-pesan dan muatan-muatan makna (luhur) melalui media hanya upaya sia-sia, sebab makna-makna ditelan dan lenyap lebih cepat ketimbang penyuntikannya.
Pertama kali dalam sejarah, bahwa seseorang dalam satu komunikasi (televisi) lebih mengenal seorang bintang TV atau tokoh kartun (yang ia belum pernah ketemu dan bersifat fiktif) ketimbang tetangganya sendiri. Begitu juga shopping mall, telah mentransformasikan kegiatan belanja, yang sebelumnya semata-mata kegiatan transaksi jual-beli –menjadi satu kegiatan waktu senggang yang menjanjikan kesenangan dan fantasi. Sistem perbelanjaan mutakhir secara terus-menerus menyuguhkan konsumer rangkaian produk dan pelayanan, “suasana” serta lingkungan yang selalu diremajakan. Kini, “kebudayaan belanja” telah menjadi satu dunia nyata yang menjajah kehidupan soisal yang sangat luas.
Di dalam kebudayaan konsumer dewasa ini, konsumsi tidak lagi sekadar bersifat fungsional –yaitu, pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kini, lebih dari itu, konsumsi bersifat materi sekaligus simbolik. Konsumsi, dalam pengertian yang sesungguhnya, mengekspresikan posisi dan “identitas” seseorang di dunia. Kecenderungan umum ke arah pembentukan identitas melalui gaya –penggunaan pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik dan makna-makna personal, telah mewabahi masyarakat—konsep “gaya hidup” sebagai raison de etre dari pemasaran adalah satu bentuk dari pembentukan “realitas semu” dalam masyarakat konsumer sekarang ini.
Baudrillard mengatakan cara manusia masa kini melihat dirinya sendiri di dalam citraan-citraan simulacrum media. Manusia masa kini, demikian dikatakannya, berada di dalam era “akhir rahasia” atau penghancuran rahasia yang mana sudah tidak ada tabir antara hal yang bersifat privasi dengan hal-hal yang bisa dipublikasikan.
Nilai-nilai “luhur” (tabu, moral, mitos, spiritual) sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendefinisikan dan membentuk dunia penampakan, atau dunia obyek-obyek. Sebab, tabu, misalnya, berfungsi sebagai referensi dalam proses ideologi –dalam menentukan posisi seseorang sebagai “subyek” dalam satu sistem signifikansi sosial. Tabu merupakan satu mekanisme sosial yang bersifat abstrak, dan berfungsi memberikan tapal-tapal batas bagi suatu komunitas dalam mengekspresikan atau merepresentasikan diri mereka melalui dunia obyek-obyek yang mereka pakai, melalui bahasa yang mereka ucapkan, atau melalui tindak-tanduk yang mereka lakukan. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang “pantas”, “kurang panats”, dan “tak pantas” untuk dilihat, dipertontonkan, dilakukan atau direpresentasikan melalui citra-citra dan obyek-obyek di dalam satu sistem representasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dick Hebdige, “…batas-batas ekspresi bahasa yang dapat diterima diatur oleh seperangkat tabu-tabu yang bersifat universal. Tabu-tabu ini menjamin “transparansi”(dapat diterimanya) makna.
Akan tetapi, kini, ketika tabu itu sendiri telah didekonstruksi, “…ketika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ketika ia menjadi semacam pengoperasian yang tanpa batas, hawa nafsu tersebut menjadi tanpa realitas, sebab ia tanpa imajiner –hawa nafsu di mana-mana, akan tetapi di mana-mana dalam bentuk simulasi”. Ketika manusia diperbolehkan melihat, mempertontonkan, melakukan atau merepresentasikan yang sebelumnya dianggap tabu, amoral, atau abnormal, maka sebenarnya tidak ada lagi “rahasia” di dalam dunia realitas.
Demikianlah tulisan Yasraf A.Piliang yang menggambarkan tentang wacana kapitalisme mutakhir. Menjamurnya shopping mall, supermarket, toko serba ada; meluasnya pemilikan televisi sampai ke desa-desa; mewabahnya citraan-citraan semu di media-media massa, komoditi-komoditi, dan tubuh-tubuh, semuanya merupakan satu bukti, bahwa sebetulnya teori-teori (Baudrillard) tentang simulasi dan realitas semu bukannya tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya ia mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya di tengah-tengah citraan-citraan dan obyek-obyek yang mengalir di hadapan kita, sesungguhnya kita telah berubah.
Tulisan artikel Yasraf A.Piliang yang saya review tersebut menjadi gambaran buat kita untuk menentukan pilihan; menjadi masyarakat atau umat yang akan memilih dan melangkah mengikuti arus globalisasi dengan jiwa konsumeris, dengan selalu mengikuti gaya dan produk baru, yang kemudian dalam simbol sosial kita disebut “modern, keren, ngetrend, atau sebutan lainnya yang melambangkan kita di posisi, yang katanya, mengikuti zaman”, atau kita akan memperjuangkan sesuatu yang lebih bernilai, berharga, bermakna, dan bermanfaat dalam hidup ini. Yang jelas, seperti yang kita ketahui tidak ada larangan menggunakan hal-hal yang baru atau modern, selama itu tidak melanggar syariat apalagi jika itu mendatangkan manfaat dan kebaikan. Hanya saja, kita harus lebih pandai mem-filter, mana yang baik dan benar, dan mana yang salah dan tidak patut buat moral, estetika, norma-norma yang berlaku, agama, dan spiritual kehidupan kita sesungguhnya.
Untuk komentar mengenai isi artikel, saya tidak menemukan secara tersurat makna “estetika hiperrealitas” dan terutama “politik konsumerisme” seperti yang ada pada judul tulisan ini. Namun, saya menyimpulkan secara personal bahwa barangkali yang dimaksud dalam tema yang diangkat oleh Yasraf A.Piliang ini adalah adanya dunia seni, keindahan, dan hiburan dalam kehidupan kita di masa kini adalah dunia yang cuma berada dalam fantasi, semu belaka, walaupun “nyata”, misalnya kita melihat indahnya tarian “Rumingkang” dalam kontes “Indonesia Mencari Bakat bersama Supermie” jelas oleh mata kita, tapi pada saat yang sama cuma ada di layar kaca televisi; kita tidak melihat dan menikmatinya secara langsung berhadapan. Begitu juga dalam hal masalah-masalah lain. Semua ini adalah salah satu akibat majunya sains dan teknologi masa kini. Sedangkan tentang politik konsumerisme, barangkali maksudnya adalah jiwa-jiwa masyarakat yang lebih suka terhadap hal-hal yang baru dengan model-model baru sehingga seseorang lebih suka mengganti yang lama jika itu sudah dianggap jadul, yang dalam hal ini diperankan oleh yang disebut “media” untuk membuat image-image tertentu, dan akhirnya para produser pun menggunakan kesempatan jiwa konsumeris masyarakat ini untuk sesuatu yang bisa mendatangkan nilai komersil. Selebih dan sekurangnya Wallahua’lam bilShawwab.








Paper of Moety@; "Lia Eden"

KUASA JIBRIL DARI SUFISME PERENIAL
SALAMULLAH HINGGA SPRITUALISME EDEN
(REVIEW ATAS ARTIKEL ADMAD SYAFI’I MUFID)



Dalam dua dasawarsa terakhir sufisme bangkit kembali, tidak saja di wilayah pedesaan, tetapi juga di wilayah perkotaan. Kebangkitan sufisme tersebut ada yang berbentuk tarekat (sufi order), tetapi ada pula perkumpulan sufisme tanpa mengikuti cara-cara tarekat. Tarekat adalah sebuah metode praktis untuk membimbing para pengamal (seeker) meniru cara berpikir, perasaan, dan tindakan menuju peningkatan tahapan-tahapan dan keadaan (maqamat dan ahwal) untuk mencapai hakikat.
Di antara perkumpulan orang-orang yang sedang menelusuri jalan menuju Tuhan adalah Jamaah Salamullah, sebuah kelompok spiritual yang mengusung paham baru dalam pensucian diri dengan metode atau cara pengalaman langsung. Salamullah tidak mengajarkan teori bagaimana seorang murid harus suluk, fana, dan ma’rifat. Semua orang yang mengikuti jalan Salamullah langsung berjuang untuk hidup dalam kesucian. Dimulai dengan pertobatan (pengakuan dosa mirip ajaran Kristen), berjanji untuk hidup suci dan tunduk patuh kepada apa yang diajarkan oleh Jibril. Setelah itu dicukur rambut ubun-ubun dan diolesi spiritus kemudian dibakar. Selanjutnya penganut baru ini hidup dalam komunitas spiritual yang kini mereka menyebut kelompoknya sebagai “kaum Eden”. Jibril dalam pandangan kaum Salamullah adalah guru atau syaikh mereka yang mengajarkan kebenaran dan keadilan serta meluruskan kembali ajaran-ajaran agama yang mentradisi dan kultus. Keyakinan terhadap Jibril dan ajaran-ajarannya merupakan inti dari paham Salamullah.
Beberapa tahun terakhir, kelompok ini telah mengalami beberapa perubahan mendasar dan menghadapi tantangan yang semakin besar. Pertama, perubahan komunitas Salamullah menjadi komunitas Eden mengisyaratkan bahwa kelompok ini, yang berakar dari paham dan gerakan Islam, telah bergeser menjadi kelompok yang menyatakan diri keluar dari Islam, dan berdiri sebagai agama tersendiri. Kedua, pusat kegiatan kelompok “Kingdom of God” demikian mereka menyebut rumah jalan Mahoni No.30 Kemayoran, telah mendapatkan tekanan dari masyarakat sekitar sehingga polisi harus melakukan evakuasi penyelamatan anggota kelompok. Ketiga, pemimpin gerakan, Lia Aminuddin telah dipersalahkan melakukan pelanggaran terhadap pasal penodaan agama dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun. Abdurrahman, Imam Mahdi, tokoh kedua dalam kelompok Eden, sempat ditahan dan diadili, kemudian dibebaskan. Akibat semua itu, soliditas kelompok menjadi semakin teruji dan ketaatan kelompok inti semakin terseleksi.
Ahmad Syafi’i Mufid menceritakan hasil perkenalan dan penelitiannya dengan Jamaah Salamullah bahwa kaum Salamullah yakin bahwa apa yang diucapkan oleh Abdurrahman adalah ilham yang disampaikan oleh malaikat Jibril.kalimat juga berarti Jibril menyapa siapa saja yang dikehendaki dan makna “sapaan” tersebut adalah sebuah penegasan bahwa Jamaah Salamullah bukan sebuah tarekat. Belakangan Ahmad Syafi’i Mufid menemukan dokumen (transkip sapaan) bahwa Salamullah adalah “sufisme perennial”. Nama ini pun bukan rekaan dari pemimpinnya, tetapi dari Jibril pula adanya. Pemimpin dan anggota jamaah Salamullah tidak pernah menggagas ataupun menciptakan nama atau konsep apalagi ajaran keagamaan. Semua itu datang dari malaikat mulia, Jibril, atas nama Allah. Pembicaraan dengan anggota jamaah juga mnegesankan bahwa mereka adalah pengikut ajaran yang dibawa oleh Syaikh (kata ganti untuk menyebut malaikat Jibril), syaikh adalah guru dan pembimbing spiritual mereka.
Lia Aminuddin, orang yang didampingi oleh Jibril, pemimpin utama Jamaah Salamullah, juga Abdurrahman yang menjadi imam besar mereka sekaligus Imam Mahdi dan lainnya adalah murid syaikh. Pandangan keagamaan yang demikian inilah yang membedakan antara kaum Salamullah dengan kaum tarekat pada umumnya. Bagi kaum Salamullah, malaikat Jibril menghukum siapa saja dari murid-muridnya yang bersalah, termasuk Bunda (Lia Aminuddin). Tidak ada perbedaan perlakuan di mata Jibril, siapa yang bersalah mendapatkan hukumannya secara langsung. Hukuman demi hukuman terlihat nyata oleh semua anggota jamaah. Begitu juga penghargaan diberikan kepada siapa saja tanpa pandang kedudukan atau strata social. Cara pengajaran semacam inilah yang di dalam Islam dikenal dengan konsep “ismah” atau penjagaan terhadap dosa bagi para rasul dan orang suci.
Kaum Salamullah meyakini bahwa Jibril kembali turun ke bumi untuk mengajar dan membimbing manusia menuju keselamatan. Jibril datang untuk meluruskan semua ajaran agama dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama baik secara sengaja maupun tidak seperti kultus kepada pemimpin agama, keyakinan terhadap benda-benda keramat, dan berbagai macam kemusyrikan. Malaikat utama ini mengajarkan monoteisme yang sangat ketat serta perjalanan hidup yang semata-mata hanya untuk melaksanakan perintah Tuhan, Dunia, kekayaan, jabatan, dan popularitas menurutnya tidak sebanding sedikit pun dengan kesucian, kejujuran, kesederhanaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Tuhan adalah segala-galanya. Perdamaian adalah misi atau tugas suci, karenanya semua agama harus bekerja sama saling bahu-membahu untuk Tuhan. Semua nabi dan rasul mengajarkan ajaran yang sama, karenanya semua kitab suci diajarkannya kembali secara sungguh-sungguh dan akhirnya terlihatlah benang merah kehendak Tuhan dan kebenaran itu berkesinambungan.
Pengajaran yang diberikan Jibril kepada jamaah Salamullah seringkali tidak dalam bentuk verbal, tetapi melalui kehidupan nyata. Jamaah juga diajarkan meditasi, merangkai bunga, melukis, menyusun batu, memelihara ikan, bercocok tanam dan kegiatan lain yang mendekatkan diri dengan alam. Belakangan diketahui itulah pintu masuk bagi malaikat Jibril untuk mengajarkan Hinduisme dan Budhisme kepada kelompok ini. Ketika pengikut Salamullah mengalami pengusiran oleh masyarakat setempat agar meninggalkan villa Bukit Zaitun di dusun Coblong, wilayah Bogor, malaikat Jibril memerintahkan kepada mereka untuk tunduk pada aturan hokum dan bertahan dari ancaman apapun. Malaikat Jibril meminta agar kaum Salamullah menyatakan tak bersedia diusir karena tidak melakukan tindak criminal dan melanggar hukum apapun. Ketika aparat kecamatanm menyatakan melepas diri dari tanggung jawab jika massa melakukan tindakan anarki kepada Salamullah, tiba-tiba malaikat Jibril memerintahkan mereka untuk segera berkemas dan meninggalkan villa secepatnya.
Jibril dalam tugas mulianya selalu mendapat perlawanan dari iblis. Kekuatan malaikat selalu disaingi oleh kekuatan iblis dalam memengaruhi keyakinan dan perilaku manusia. Apakah Tuhan menjadi satu-satunya tujuan hidup, ataukah ada yang selain Tuhan yang menjadi tujuan hidup manusia. Jibril mengajari manusia melepaskan diri dari pengaruh hawa nafsu dengan perbuatan nyata, bukan dengan teori-teori mistik atau filsafat sebagaimana layaknya sebuah gerakan teosofi ataupun sufisme. Malaikat Jibril dengan ajarannya yang demikian telah datang kepada pemimpin dan anggota kelompok atau jamaah yang bernama Salamullah sejak 1996 hingga sekarang.
Selain mengepak-ngepakkan sayapnya kepada jamaah Salamullah, menurut pemimpin jamaah Salamullah, Jibril juga menyapa individu-individu yang dipilih oleh Allah. Artinya kehadiran Jibril tidaklah khusus hanya kepada kaum Salamullah tetapi juga kepada kelompok-kelompok lain. Bahkan dalam pengajaran utama yang dikenal dengan istilah “sapaan “ Jibril juga mengancam akan meninggalkan kelompok ini kalau tidak taat dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dalam pandangan kaum Salamullah, kelompok-kelompok yang mendapatkan pengajaran dari Jibril selalu membawa missi yang sama yakni mengemban amanat kembali kepada tauhid yang murni (absolute monotheism), penyucian diri (tazkiyatun nafs), penyadaran kembali masyarakat dan bangsa dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan (taubat an-nasuha) hingga dapat keluar dari krisis yang berkepanjangan. Amanat tersebut datang dari Allah baik yang diterima secara langsung, melalui perantaraan Jibril dan atau bisikan dari Roh Kudus. Sebuah catatan lapangan yang sangat bermakna untuk menggambarkan kedatangan malaikat Jibril adalah ketika Ahmad Syafi’i Mufid mengikuti pertemuan khusus (majelis mudzakarah) atau yang dikenal dengan istilah “sapaan” Jamaah Salamullah pada tanggal 27 Juli 2002.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “sapaan” berasal dari kata “sapa” yang berarti ajakan untuk bercakap, teguran atau ucapan. “Sapaan” dapat saja terjadi kapan saja, tetapi pertemuan rutin, mirip ritual resmi Salamullah adalah pada setiap hari Sabtu jam 14.00 hingga 17.00. Upacara ini dimulai dengan perintah dari pemimpin jamaah yang dimulai dengan mengucapkan “salam Salamullah” dilanjutkan pembacaan Alquraan dan terjemahnya. Selesai pembacaan Alquraan, jamaah dipimpin oleh Lala (penyanyi Salamullah) mengumandangkan lagu “salam Salamullah” dan sering juga dilanjutkan dengan lagu-lagu yang lain seperti Dunia Jibril. Selesai menyanyi mereka bersujud dan kemudian pemimpin upacara bangkit dan kemudian duduk di atas dipan yang telah disediakan dan kemudian suasana hening sejenak. Selain lewat “sapaan” Jibril juga dapat datang kapan saja untuk memberikan petunjuk dan pengajaran kepada kelompok ini.
Pengakuan seorang anak manusia, seperti Lia Aminuddin, disapa bahkan dibimbing oleh malaikat Jibril, dan kemudian belakangan menyatakan menyatu dengan Jibril tentu sangat mengagetkan. Pengakuan semacam ini sangat riskan dan mengundang hujatan yang berakhir dengan fatwa sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Keyakinan umat Islam umumnya berpijak pada pandangan bahwa setelah Nabi Muhammad saw. tidak ada lagi nabi. Berdasarkan pandangan tersebut, muncul turunannya kalau malaikat Jibril, sang pembawa wahyu, juga sudah tidak lagi hadir di tengah-tengah problem kemanusiaan. Kini ada seorang perempuan yang mengaku bertemu dan mendapatkan bimbingan langsung dari malaikat Jibril as. Lia Aminuddin (sekarang dipanggil oleh pengikutnya Paduka Bunda Lia Eden).
Muhammad Abdurrahman menuliskan sejarah Eden dalam pledoinya di depan pengadilan berawal dengan cerita penyingkapan kegaiban yang dialami oleh Lia Aminuddin. Juga pengalaman bimbingan kegaiban sesosok gaib malaikat yang bernama Habib Alhuda sebagaimana yang dituturkan oleh buku Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (PAMST). Jibrillah yang memberikan nama “Salamullah” untuk komunitas ini, dan Jibril pula yang memerintahkan kepada muridnya mendeklarasikan Salamullah sebagai agama baru pada bulan Juni 2000, setelah pesan-pesan dan peringatan malaikat Jibril diabaikan, bahkan para muridnya mendapat tantangan dari para ulama dan umat Islam. Salamullah adalah agama baru yang bersendikan pada perenialisme, keyakinan bahwa hakikatnya seluruh agama memiliki sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Pengajaran Jibril selanjutnya adalah spiritulitasme tanpa agama, yang mendasarkan religiositas kaum Eden pada tauhid (absolute monotheism), kesucian, ketundukan kepada Tuhan yang terwujud dalam buah moralitas keseharian. Perintah Jibril selanjutnya kepada kaum Eden adalah melepaskan afiliasi pada agama tertentu dan keterkaitan pada syariat agama. Pilihannya adalah sipritualitas non agama sejak tahun 2002, dan kemudian menyatakan Eden sebagai institusi ketuhanan yang mandiri dan tak memiliki afiliasi keagamaan dengan agama apapun pada tahun 2005. Sejak itu, nama resmi institusi Eden adalah Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden dan para murid malaikat Jibril yang berada di dalamnya dikenal dengan sebutan Komunitas Eden.
MUI mengeluarkan fatwa yang isinya sebagai berikut: “pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaikat Jibril bertentangan dengan Alquran”. Oleh karena itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan. Dasar atau dalil yang dijadikan landasan fatwa tersebut adalah Q.S.Albaqarah: 177, Alnisa: 136, Aljin: 26-27, Alanbiya: 20, 26-28, Alnahl: 44, 50, ALtahrim: 6, Altakwir: 19-23, Asyuara: 192-193, Alahzab: 40, Almaidah: 3, Asyuraa: 51, Alqadr: 4, dan beberapa hadis. Fatwa MUI tentang kesesatan Lia Aminuddin dan Salamullah ditanggapi dengan fatwa malaikat Jibril as. sebagaimana dipaparkan dalam buku Alhira karya Lia Aminuddin.
Dalam bukunya itu membantah fatwa MUI dengan argumen tentang Jibril dapat turun kembali menemui siapa saja yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana dalam Alquran surat Almukmin: 15, Alnahl: 2, Alisraa: 95, Maryam: 64. Berdasarkan ayat-aya tersebut, jelas malaikat Jibril dimungkinkan menemui siapapun. Bahkan Jibril sering turun membawa mukjizat Allah di malam Alqadr. Setiap ketentuan sebuah takdir selalu diwahyukan Allah kepada Jibril yang akan meneruskan wahyu itu kepada umat manusia. Maka setiap ketentuan keputusan Allah itu diriwayatkan maupun disampaikan melalui ketentuan wahyu. Siapapun yang menerima sebuah ketentuan takdir ataupun rahmat yang berupa pertolongan (syafa’at) atau keajaiban (mukjizat), maka ketentuan itu selalu disampaikan berupa wahyu. Seorang waliyullah seperti Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Jalaluddin Rumi, Ahmad bin Hambal, Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Wali Sanga di Indonesia, tidaklah dapat menyampaikan ajarannya bila tidak mendapatkan wahyu. Siapakah malaikat pembawa wahyu bagi mereka ? Mereka, para wali dan ulama tersebut hidup setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Tidak ada malaikat pembawa wahyu selain Jibril dan tidak ada waliyullah yang mendapat pengajaran dari malaikat bila itu bukan wahyu dari Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril as.
Penjelasan seperti ini ternyata tidak memadai antara kedua belah pihak yang bersengketa. Agama dan ajarannya adalah pengalaman kolektif dan ada dalam realitas kultural. Kebenarannya bersifat mutlak bagi penganutnya, tidak bagi yang lain. Begitu juga tentang probabilitas kehadiran Jibril atau malaikat lainnya dalam kehidupan manusia, tetap saja menyisakan masalah pembuktian empirik. Tidak ada pendekatan ilmiah yang mampu memverifikasi apakah pengalaman spiritual tersebut benar adanya atau salah. Kecuali jika pengalaman spiritual tersebut dilihat dari sudut pandang kebudayaan. Kenabian, wahyu dan Jibril adalah sesuatu yang keramat dan suci (the sacred), meminjam istilah yang dipergunakan oleh Emile Durkheim ketika mencoba menjelaskan kaitan antara agama dan masyarakat. Masyarakat adalah sebuah kesatuan yang dirangkai secara internal oleh the sared, klasifikasi, ritus, dan ikatan solidaritas. Kepercayaan tentang Jibril adalah ungkapan tentang hal-hal yang suci (the sacred). Ketundukan dan kepasrahan mengikuti pengajarannya adalah praktik-praktik keagamaan (ritus) yang pada akhirnya membangun sebuah kesatuan komunitas yang kemudian dikenal sebagai Salamullah atau Eden. Kepercayaan dan ritus dalam kehidupan komunitas Eden ditampakkan dalam sejumlah simbol seperti dalam penataan rumah di Jalan Mahoni No.30, pakaian para penganut, tata cara makan, pemeliharaan anjing di rumah, dan symbol profane lainnya. Pengakuan dosa, pertobatan dan pembakaran ubun-ubun kepala adalah symbol penyucian yang sakral dan merupakan pembelajaran utama oleh Jibril, yang pada hakikatnya merupakan symbol ketundukan kepada sang mursyid utama yakni Jibril itu sendiri.
Jamaah Salamullah atau komunitas Eden, adalah komunitas keagamaan atau lebih tepatnya komunitas spiritual yang senantiasa hidup dalam kesucian dan mendekatkan diri kepada Allah, zuhud secara total. Oleh karena itu Ahmad Syafi’i Mufid memandang kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan sufisme yang bersifat mesianistik dan perennial. Corak mesianistik Salamullah adalah keyakinan tentang telah dibangkitkannya kembali ruh Nabi Isa dan Imam Mahdi untuk menyatukan kembali umat Kristen dan Islam.
Gerakan tersebut dipimpin oleh seorang perempuan yang semula adalah ibu rumah tangga biasa. Nama aslinya Samsuriyati akrab dipanggil Lia. Lahir di Makassar tanggal 21 Agustus 1947 dari keluarga yang taat beragama. Ayah dan neneknya adalah aktifis gerakan Muhammadiyah di wilayah tersebut. Namun demikian, Lia tergolong awam dalam agama. Mengaji Alquran saja tidak dapat dilakukannya dengan baik. Pendidikan formalnya adalah SMA dan tidak selesai. Perkawinannya dengan Ir. Aminuddin Day membuatnya akrab disapa dengan Lia Aminuddin dan dikaruniai empat orang anak. Lia Aminuddin sangat terkenal sebagai sosok perangkai bunga kering dan beberapa kali mendapat penghargaan.
Pergulatan Lia Aminuddin dengan dunia malaikat dimulai dari kekecewaannya terhadap pengurus Yayasan At-Ta’ibin, yang ia sendiri sebagai salah seorang pendiri dan pengurus yayasan yang membina narapidana merasa diperlakukan secara tidak adil. Lia setiap malam menangis dan mengadu kepada Allah tentang ketidakadilan dan kebenaran yang dirasakannya, berkaitan konflik interes yang ada di tubuh yayasan oleh salah seorang anggota pengurus. Pada suatu malam ia mengalami sebuah peristiwa (kasyf); seluruh badannya bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya tiba-tiba ia bisa melihat segala sesuatu yang gaib seperti sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi dan dapat mengobati berbagai penyakit. Setelah itu ia didatangi oleh makhluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu kemudian diketahui (mengaku) sebagai malaikat bernama Habib al-Huda.
Salamullah adalah komunitas spiritual yang sangat berat untuk ukuran manusia biasa, bukan pencari Tuhan. Ujian-ujian selalu saja menyertai perjalanan jamaah ini. Oleh karena itu, sejak 1996, tatkala ajaran ini diperkenalkan hingga usianya yang sudah satu dasawarsa, jumlah anggotanya tidak pernah beranjak melebihi angka tujuh puluhan, tepatnya tujuh puluh tujuh. Angka ini merupakan angka yang penuh misteri karena dihubungkan dengan symbol dan kekuatan kemalaikatan. Sebagai lawan dari misteri angka tersebut adalah angka 666 yang merupakan symbol Lucifer alias Dajjal yang menjadi musuh utama Isa dan Imam Mahdi. Rata-rata anggota jamaah ini masih muda usia dan sebagian besar berpendidikan sarjana. Ketertarikan mereka kepada ajaran Salamullah atau Eden adalah untuk meningkatkan kualitas keagamaan mereka. Tidak ada keuntungan materi, bahkan terlalu banyak pengorbanan yang diberikan demi dapat melaksanakan ajaran malaikat Jibril. Kebangkitan keberagamaan, khususnya sufisme, beriringan dengan keberhasilan Orde Baru membangun ekonomi masyarakat. Puncaknya ada pada era 80-an. Ketika Orde Baru jatuh, sufisme ternyata tetap diminati, bahkan tarekat ghairu mu’tabarah sekalipun. Semua itu demi sebuah identitas baru yaitu kesalehan dikalangan kelas menengah perkotaan. Identitas ini penting bagi mereka, terutama dari kalangan golongan social varian “abangan” atau “tangklukan”.
Kehidupan sehari-hari mereka sebagian terpusat di rumah masing-masing, tetapi sebagian lainnya hidup bersama dalam satu rumah yakni di Jln.Mahoni No.30 Kemayoran, Jakarta. Di rumah inilah mereka sering berkumpul untuk sebuah tugas atau amanat yang disampaikan oleh Syaikh (Jibril) dan sekaligus untuk memperoleh bimbingannya.
Hubungan guru murid terasa sangat akrab dan tidak menunjukkan adanya jarak. Ketika Bunda dalam posisi sebagai Lia Aminuddin, dia suka bercanda dan berbicara serta tertawa sebagaimana umumnya manusia. Tetapi ketika tampil sebagai representasi Jibril, dia dapat berkata yang sangat keras atau lembut dan dapat memberikan hukuman yang sangat menakutkan. Ketika tampil di atas kedudukan yang demikian, karisma yang sangat besar muncul dengan wibawa yang melampaui kewibawaan semua anggota jamaah. Padahal, menurut pengakuan mereka, banyak di antara anggota jamaah yang telah kasyf, dan telah disapa oleh malaikat Jibril. Jadi status mereka sama yakni murid dan tidak ada seorang pun yang lebih tinggi daripada yang lain. Betapapun, dalam banyak hal Bunda tetap menjadi figure utama dan rujukan anggota termasuk Imam Mahdi sekalipun.
Menurut Muhammad Abdurrahman, pokok-pokok ajaran Eden ada tujuh, yaitu monoteisme, kesucian, egalitarianisme, keindahan, perenialisme, regulasi ruh dan kerajaan Tuhan dan penghakimannya.
Monoteisme bagi kaum Eden adalah siapapun yang mengimani keesaan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, maka baginya jalan keselamatan, walau agama dan kepercayaan apapun, maka baginya jalan keselamatan, walau agama dan kepercayaan apapun yang dianutnya, dan dengan sebutan apapun mereka menyebut nama Tuhannya. Menurut Bunda, Tuhan mneghukum bangsa ini dengan berbagai macam krisis adalah disebabkan bangsa ini melakukan kemusyrikan. Kemusyrikan yang paling utama adalah perselingkuhan para penguasa Indonesia dengan Nyai Roro Kidul.
Ajaran kesucian sangat ditekankan oleh Jibril. Kesucian adalah keniscayaan bila seseorang hendak mendekatkan diri kepada Tuhan. Kewajiban meniti jalan Tuhan yang tidak dapat ditawar adalah tak menyentuh dosa sekecil apapun, baik dalam keadaan lapang maupun terpaksa. Kaum Eden telah mengangkat sumpah agar dicabut nyawanya seketika apabila melakukan dosa dengan sengaja. Sumpah itu merupakan tanda kesungguhan tekad untuk mensucikan diri. Dalam ritual kaum Eden, upacara penyucian yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah pengakuan dosa di depan anggota dengan cara menyebutkannya secara detail. Setelah pengakuan dosa, kemudian melakukan pertobatan dan bersumpah tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut dengan sengaja. Ritual penyucian diakhiri dengan pembakaran dengan api suci (spiritus yang ditoreh di atas ubun-ubun dan dibakar).
Egalitarianisme dalam ajaran Eden adalah tidaklah seorang pun di antara kaum Eden yang berbeda satu sama lainnya dihadapan Tuhan. Mereka semua adalah hamba-hamba Tuhan yang berdiri untuk membangun rumah di Eden.
Ajaran keindahan menunjukkan bahwa Tuhan itu indah. Keindahan adalah pakaian Tuhan, maka Tuhan melalui malaikat Jibril mengajarkan agar kaum Eden menjadikan hidupnya indah yang diwujudkan dalam tutur kata, budi pekerti dan perilaku di masyarakat. Dalam menyampaikan risalah-risalah dan amanat Tuhan misalnya, kaum Eden tidak diperkenankan membawakannya dengan kebencian, kemarahan, ataupun kekerasan.
Salamullah atau Eden juga mengajarkan perenealisme, yakni kebenaran abadi. Perenealisme adalah sebuah paham yang meyakini bahwa seluruh agama, seluruh kepercayaan yang mengajak umatnya hidup dalam kesucian sambil berupaya mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan umat manusia, niscaya berasal dari Tuhan yang sama adanya. Meskipun demikian, symbol-simbol yang dipakai oleh setiap agama adalah berbeda, disesuaikan dengan lingkungan dan kebudayaan utusan Tuhan yang membawanya. Perenialisme Eden dapat dilihat dari maklumat dan aksi mereka untuk menyerukan agar umat Islam dan Kristen bersatu karena semuanya berasal dari Zat yang satu. Penganut kedua agama ini harus hidup dalam kasih sayang dan perdamaian. Agama Hindu dan Budha juga diakui kebenarannya dan berasal dari Allah. Bahkan legenda-legenda yang mengandung ajaran moral juga diakui berasal dari wahyu Allah. Memang, penyimpangan seringkali terjadi dalam kurun waktu yang panjang dari sejarah perjalanan semua agama. Oleh karena itu, perlu ada pelurusan-pelurusan dan untuk kepentingan inilah Jibril kembali turun ke bumi.
Ajaran pokok, yang bisa jadi merupakan pangkal dari teologi komunitas Eden atau Salamullah, adalah regulasi ruh. Komunitas ini memercayai ajaran reinkarnasi, yang dianggap sebagai ajaran Jibril yang membuka pintu pengetahuan bagi umat manusia untuk mengenal sistem dan cara kerja Tuhan dengan seluruh makhluk-Nya. Regulasi ruh diakui oleh kelompom Eden sebagai keyakinan dasar. Muhammad Abdurrahman mendefinisikan regulasi ruh sebagai serumpun ilmu pengetahuan yang diturunkan dalam takdir-Nya di akhir zaman. Ilmu menjelaskan tentang perguliran dan evolusi ruh di alam semesta. Tiadalah sebuah kedudukan ruh yang menetap, karena setiap ruh senantiasa bergulir dan berevolusi. Ruh manusia dapat menempati fisik manusia setelah kematiannya, ruh malaikat dapat turun menjadi manusia, ruh manusia dapat menjadi malaikat, ruh iblis dapat menjadi binatang, dan seterusnya. Atas dasar doktrin semacam ini keyakinan tentang Jibril turun kembali dan menyatu dalam diri Lia Aminuddin, Nabi Muhammad bereinkarnasi pada diri Muhammad Abdurrahman (Imam Mahdi) dapat dijelaskan. Kaum Eden meyakini bahwa mereka membawa ruh manusia yang telah meninggal baik manusia suci, kotor bahkan anjing yang hidup di lingkungan mereka diyakini membawa ruh orang yang telah meninggal.
Ajaran yang paling akhir diterima oleh kelompok Eden adalah lahirnya kerajaan Tuhan (Kingdom of God) dan penghakiman-Nya. Kedatangan Jibril saat ini adalah untuk melakukan penggenapan atas nubuwah Tuhan di dalam kitab-kitab suci-Nya. Malaikat Jibril menurut mereka, mengajarkan bahwa era globalisasi saat ini sebagai hari pengadilan (hisab). Tempat pengadilan Tuhan tidak di alam akhirat, atau dunia antah-berantah yang tidak diketahui o leh umat manusia, melainkan di bumi yang ditempati manusia saat ini. Bencana alam yang terjadi, gempa, tsunami, tanah longsor, penyakit, kebakaran, dan peperangan yang melanda umat manusia adalah fenomena neraka. Sebaliknya, bila seseorang mendapatkan kebahagiaan, cinta dan kasih sayang, maka sesungguhnya itu merupakan buah kebajikan dari perbuatannya dulu dan saat ini.
Enam ajaran pokok komunitas Eden tersebut dibungkus dengan empat buah doktrin. Pertama, tidak ada yang memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran agama yang monolitik atau tunggal. Kedua, kerasulan Jibril sebagai pemegang otoritas penafsiran kehendak Tuhan. Kendati pun Bunda Lia Eden adalah medium penyampai pesan-pesan Tuhan sebagaimana tokoh-tokoh spiritual sebelumnya, kaum Eden berkeyakinan bahwa yang menjadi Rasul Tuhan adalah malaikat Jibril-Ruhul Kudus. Doktrin yang ketiga, tentang kekekalan kitab suci. Eksistensi ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan-Nya kepada umat manusia senantiasa dijaga-Nya. Keempat, doktrin penggenapan nubuwah yakni pengajaran Eden merupakan sistem keyakinan yang bukan lagi bagian dari rumah besar agama Islam. Eden adalah sebuah kerasulan yang sedang diturunkan Tuhan. Kingdom of God adalah agama baru dan umat pendukungnya adalah komunitas Eden. Mereka menginginkan pengakuan dan hak-hak mereka juga diakui sekaligus dilindungi.
Salamullah atau komunitas Eden sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai gerakan keagamaan yang bercorak mesianistik (messianistic religious movement). Bahkan terdapat kecenderungan sebagai agama baru, meskipun klaim ini berasal dari dan didasarkan atas fatwa MUI bahwa gerakan ini dianggap sesat. Karena tidak diakui sebagai golongan Islam, maka mereka menyebutnya sebagai agama baru yang nama resminya adalah kaum Eden. Kaum Eden sendiri terdiri dari tiga aktifitas yakni keagamaan, perdamaian, dan kegiatan ekonomi yang tergabung dalam perusahaan mereka yang bernama Gold Quest.
Salamullah dilihat dari perspektif kesucian dan penjagaan dari perbuatan dosa dapat dikelompokkan dalam sebuah gerakan tasawuf atau paling tidak sebagai gerakan keagamaan yang bercorak sufistik.
Bagi penganut Salamullah kedua istilah atau kategori tersebut tidak penting. Bahkan dianggap sesat pun tidak mereka pikirkan. Bagi mereka kedekatan dengan Tuhan dan menjalankan amanat Tuhan adalah puncak kehidupan. Mereka meyakini dan bahkan merasakan azab dan balasan Allah sudah ada sejak di dunia. Neraka dan surga memang nyata, begitu juga dengan Tuhan dan para malaikat adalah sebuah realitas yang dapat dirasakan kehadirannya dalam kehidupan yang nyata. Memang secara kasat mata penganut jamaah ini kemudian terlihat seperti menyiksa diri (tobat dan penebusan dosa secara terus-menerus dan tidak melakukan dosa lagi), menjadikannya mudah untuk dikategorisasikan sebagai tasawuf “eksesif”. Bertasawuf itu yang penting adalah buahnya. Proses itu penting, tetapi apa artinya ketika semua pengorbanan itu tidak bermanfaat bagi kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Perjalanan selama lebih 10 tahun ini, Salamullah atau komunitas Eden baru dapat mendokumentasikan ajaran dalam bentuk buku, booklet, surat edaran dan catatan-catatan, mewujudkan gagasan dalam sebuah komunitas kecil, tetapi belum mendapatkan apresiasi yang memadai dari masyarakat luas. Bahkan Salamullah atau komunitas Eden telah dinyatakan sesat oleh MUI. Dan tuduhan kepada pemimpinnya melakukan penodaan agama telah dianggap terbukti di pengadilan sehingga mendapat ganjaran hukuman dua tahun penjara. Semua perkembangan tersebut menyebabkan penurunan drastic jumlah pengikut. Ketika sang Bunda dijebloskan dalam penjara, anggota komunitas Eden tinggal 48 orang.
Isi resume dari artikel yang ditulis oleh Ahmad Syafi’i Mufid tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa ada sisi kehidupan beragama dalam batang tubuh agama itu sendiri yang belum tentu sesuai dengan syariat dan akidah umat Islam pada umumnya tapi juga belum tentu sesat dan menyesatkan umat. Namun terlepas dari truth claim antara MUI dengan “agama” yang dibawa Lia Aminuddin dengan label “sesat dan menyesatkan” tersebut, kita bisa melihat bagaimana mereka membangun spiritualitas mereka dengan hubungan emosional yang begitu dekat dan karismatik secara teroganisir di bawah komando sang Bunda Lia Eden yang dianggap sebagai representatif Jibril as. Dalam prinsip ajaran terlihat bagaimana konsep ‘tauhid’ atau ‘monoteisme’ begitu sesuai dengan prinsip akidah Islam pada umumnya; mengecam kemusyrikan. Begitu juga dengan doktrin-doktrin ajaran lainnya. Lia Eden sepertinya begitu pandai memformat ajaran yang ‘hampir’ tidak menyimpang dari ajaran Islam murni, yang hal ini tentu saja diakui oleh pengikutnya karena adanya malaikat Jibril yang membisikkan ‘wahyu’ tersebut. Yang jelas sejarah sudah mencatat bagian dari perkembangan pemikiran ajaran Islam sudah ada sosok wanita yang berpengaruh dalam paham baru di batang tubuh Islam itu sendiri yang mempunyai pengikut, yang tidak saja kalangan awam tapi sarjana bahkan dari akademisi muslim, yang walaupun juga secara kultural di Indonesia sangat tidak mendukung perkembangannya. Selebih dan sekurangnya Wallahua’lam bilshawwab.


Referensi: Ahmad Syafi’i Mufid, “Kuasa Jibril, dari Sufisme Perenial, Salamullah hingga Spritualisme Eden” dalam Martin van Bruinessen dan Julia D. Dowell (eds.), Urban Sufism. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 413-450.

Senin, 08 November 2010

My Story Collection_11

Hare ine tidak banyak hal  yg membuat'q shock. Tp aq melewate masa2 berat beberapa hare kemaren. Mungkin aq baru sadar kalau semua yang aq alame adalah aplikasi dare mimpi'q. Sempat aq memikirkan takwil dare mimpe itu tanpa aq sadare aq menjalane realitasnya.
Dalam mimpi itu aq berada di atas jukung yang melaju menentang arus deras. Sungguh dalam keseharean aq sangat phobia dengan air yang berarus deras. Aq sangat ante berada di sungae, apalage lautan..kalau itu terjade aq akan pingsan atau dada'q terasa sesak...
Tape aq tidak tau dalam mimpi itu aq merasa sangat gugup. Namun tidak terjade apa2 dengan'q. Aq bisa bertahan dengan utuh..
Dalam dunea nyata ternyata banyak hal yang membuat'q terpukul, banyak hal yang membuat'q bersedih, banyak hal yang membuat'q terluka.. akher2 ine..Tape semua q biarkan berlalu sampae aq ingen ada kebahageaan yang q impikan datang untuk'q.. yang akan membalut luka itu.. yang akan membuat'q tersenyum menang.. Life is Struggle. 'Kan q wujudkan ketegaran itu seperti dalam mimpi... InsyaAllah.

Kamis, 04 November 2010

Penutup paper "Wahdatul Wujud"

PENUTUP

Konsep "Wahdatul Wujud" dalam wacana tasawuf falsafi di atas adalah konsep yang kalau disarikan dari beberapa pengertian menurut pakar tasawuf adalah paham "Kesatuan Wujud Tuhan dengan manusia", yakni bahwa Tuhan lah sebenarnya yang mempunyai wujud haqiqi, sementara wujud makhluk hanya mempunyai wujud yang bergantung di luar dirinya, yakni Tuhan. Konsep yang dipopulerkan oleh Ibn 'Arabi ini menjelaskan bahwa Wujud itu hanyalah satu, itulah wujud yang berdiri sendiri. Itulah Yang Mahabenar (Tuhan). Alam yang banyak ini tidaklah berwujud alam alam sendiri, tetapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Oeh karena itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beragam ini adalah manifestasi atau penampakan dari wujud yang satu itu. Dari sudut hakikat, alam tidak lain dari Tuhan, tetapi dari sudut penampakan diri, alam berbeda dari Tuhan.
Demikian konsep Wahdatul Wujud ini adalah sebuah konsep yang bisa dijadikan sebagai konsep yang mengajarkan arti kedekatan hamba kepada Rabb-nya. Selebih dan sekurangnya umat Islam bisa lebih bijak menyikapi konsep ini lebih lanjut. Wallahua'lam bilshawwab.


By: Mutia Rahmawati
0902010492
Memenuhi tugas mata kuliah 
Filsafat Tasawuf Nazhari
Drs. Bahran Noor Haira

Senin, 01 November 2010

My Story Collection_10

I hope i be able to own someone whom is the best for me. i love him and he loves me forever...