Before U Read and Get Information From Me

Please... Give Me a Gift.
No Difficult.
No Expensive.
No More.

Give Me a Gift; "The Fatihah 4"
Okeyy.

Jumat, 12 November 2010

Paper of Moety@; "Hyperreality"

TERKURUNG DI ANTARA REALITAS-REALITAS SEMU;
ESTETIKA HIPERREALITAS & POLITIK KONSUMERISME


Tulisan artikel yang dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol.V, Th.1994, pada bab Sastra, oleh Yasraf A.Piliang tersebut merupakan tulisan untuk merespons perkembangan dan kemajuan sains, ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, khususnya yang dialami bumi pertiwi kita, Indonesia Raya tercinta ini. Kalau Yasraf A.Piliang mengatakan Marshall McLuhan menulis tentang “hiperrialisasi kehidupan” pada saat awal perkembangan teknologi komputer dan televisi sekitar tahun 1964, maka seperti yang kita ketahui, tahun 1994, pada saat Yasraf A.Piliang menulis pun, adalah masa yang mulai gencar ditawarkan oleh dunia berbagai macam fashion kehidupan. Ini terlukis dari uraian kata-kata Yasraf A.Piliang dalam artikelnya tersebut tentang “disket, shampoo sunsilk, celana Jean Levy Strauss, shoping mall, dsb.” Yang semua hal itu adalah tanda-tanda kemajuan saat itu.
Namun, tanpa melakukan kritik yang sama kita juga mengakui bahwa era 2010, masa kita sekarang, yang mana saya dalam hal ini me-review tulisan Yasraf A.Piliang, jauh lebih banyak lagi yang ditawarkan arus globalisasi dan masa yang akan datang pun akan selalu ada perubahan. Lihat saja adanya layanan facebook, twitter, blogspot, plasdisk/CD-Room, dan sebagainya. Belum lagi produk-produk makanan, pakaian, dan sebagainya yang beraneka warna, gaya, rasa, dan tetek bengek lainnya. Masa sekarang atau yang disebut era kontemporer jauh lebih banyak hal yang belum ditawarkan dunia pada saat Yasraf A.Piliang menulis tentang bagaimana dia melihat kebenaran teori Jean Baudrilllard cs. dalam melihat perilaku manusia dalam menyikapi kehidupannya di era modernisasi.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa menyimak review tulisan Yasraf A.Piliang “Terkurung di Antara Realitas-Realitas Semu; Estetika Hiperrialitas & Politik Konsumerisme” berikut ini.
Yasraf A.Piliang menceritakan bahwa ada satu pengalaman penting yang menandai perkembangan masyarakat, seni, dan kebudayaan dunia belakangan ini—dan ini dalam kepekatan tertentu juga dialami di Indonesia. Suatu pengalaman transformasi dalam cara manusia “melihat diri sendiri” secara ontologis diantara obyek-obyek kebudayaan ciptaannya, dan dalam cara manusia membangun “citra diri” dan menyusun “makna kehidupannya” secara diskursif melalui obyek-obyek dan media-media (massa) dalam satu ruang dan waktu yang membatasinya—pengalaman hidup dalam ruang yang oleh Jean Baudrillard disebut “realitas semu” (hyper-real).
Selanjutnya Yasraf A.Piliang menguraikan bahwa dalam masyarakat modern telah terjadi semacam “ketidaksadaran massal” akan terjadinya transformasi, akan berlangsungnya “pembentukan kembali diri” dan perumusan kembali “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu”.
Menurut Yasraf A.Piliang, penjelmaan dunia “realitas semu” ini, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme dalam ekonomi pada tingkatnya yang mutakhir di Barat. Perkembangan mutakhir teknologi informasi, komoditi, dan tontonan sebagai tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme telah memungkinkan manusia masa kini “melihat dirinya sendiri” sebagai refleksi dari citra-citra yang ditaburkan oleh cermin-cermin komoditi, dan tontonan-tontonan ini. Ideologi kapitalisme mutakhir yang menyerakkan benih-benih komoditi dan tontonan, dan memanen keuntungan dari “nilai tukarnya”, tidak saja mengharuskan arus produksi dan konsumsi yang konstan, akan tetapi konstan dalam “kecepatan” yang bersaing.
Dalam percepatan deru mesin pada masyarakat kapitalis mutakhir, yang disebut Foucault sebagai “masyarakat konsumer”, yang dihasilkan melalui wacana kapitalis tidak lagi sekadar “obyek” dan “subyek”, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang disebut “differensiasi”, yaitu suatu proses membangun identitas berdasarkan perbedaan produk, penampakan, dan gaya hidup. Hal ini menjadi satu kata kunci dalam wacana kapitalisme, ia menjadi ideologi dari kapitalisme mutakhir itu sendiri. Sementara, kata “tua” menjadi sebuah kata yang bagaikan wabah lepra yang menakutkan bagi kapitalis (misalnya mobil tua, sepatu tua, baju tua, rumah tua, wajah tua, atau barangkali isteri tua…). Pada akhirnya, proses “peremajaan” melalui “differensiasi” seakan-akan menjadi semacam keharusan dalam wacana kapitalisme. Detak jantung kapitalisme sebenarnya bersumber dari proses peremajaan abadi ini, yang hampir mencakup segala aspek kehidupan dalam wujud komoditi. Pusat kebugaran, jogging, kursus kecantikan, senam seks, kursus kepribadian, salon mobil, pusat sale—semuanya merupakan manifestasi dari trauma kapitalisme terhadap “ketuaan” dan kegairahannya pada keremajaan. Di dalam wacana kapitalisme, keremajaan itu sendiri menjadi sebuah komoditi, dan komoditi ini—melalui makna-makna yang ditanam di dalamnya—pada gilirannya menjadi tiang-tiang penopang dunia “realitas semu”.
Marshall McLuhan adalah orang yang pertama kali dianggap sebagai orang yang membuka perbincangan mengenai proses “hiperrialisasi” kehidupan. Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Understanding Media, The Extensions of Man yang diterbitkan sekitar empat dekade lalu. Ia meramalkan bahwa peralihan dari era teknologi mekanik ke era teknologi listrik di Barat akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai “perpanjangan” manusia menuju perpanjangan tahap akhirnya; dari perpanjangan badan di dalam ruang, menuju perpanjangan sistem syaraf. Bila dalam era mekanik, sebuah mesin ketik, misalnya, dapat “memperpanjang” tangan manusia, dalam era teknologi elektronik, komputer dapat “memperpanjang” sistem syaraf manusia.
Jean Baudrillard—meskipun berpandangan nihilis dan fatalis terhadap perkembangan teknologi informasi—merupakan “perpanjangan tangan” dari pemikiran-pemikiran McLuhan. Ia mengangkat pandangan-pandangan McLuhan tentang “perpanjangan tangan” dan “desa global” atau “dunia yang tak lebih besar dari sebuah layar kaca atau sebuah disket” ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini telah menjelma menjadi sebuah desa hiper-realitas. Perkembangan mutakhir sains dan teknologi di Barat seperti yang diramalkan McLuhan, menurut pandangan Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, bahkan lebih fantastis lagi, mampu menghasilkan duplikat manusia; mampu menyulap fantasi, halusinasi, ilusi, atau science-fiction menjadi nyata; mampu mereproduksi masa lalu dan nostalgia; mampu melipat-lipat dunia, sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca, disket atau memory bank. Robot, yang pada awalnya diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah menjelma menjadi “saingan” manusia sendiri (misalnya dalam lapangan kerja, olahraga catur, atau kecerdasan).
Bagi Baudrillard, penciptaan dunia kebudayaan dewasa ini mengikuti satu model produksi yang disebutnya ‘simulasi’—“…penciptaan model-model nyata yang tanpa asal usul atau realitas”—hiperrialitas.
Realitas-realitas (territorial) sosial, kebudayaan, atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak, atau tokoh-tokoh kartun. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami satu ruang realitas, yang mana perbedaan antara yang “nyata” dan “fantasi” atau yang “benar” dan “palsu” menjadi sangat tipis –manusia hidup di dalam suatu ruang “khayali yang nyata”.
Yang menarik disimak, menurut Yasraf A.Piliang, dari pandangan-pandangan McLuhan dan Baudrillard adalah kedua pemikir ini melihat ketidakterpisahan antara perkembangan sains dan teknologi, penggunaan ruang dan waktu dan proses kapitalisme di Barat.
Meskipun muncul banyak kekhawatiran akan dampak perkembangan sains dan teknologi, eksploitasi sumber daya alam, dan penggunaan ruang dan waktu yang bergaya kapitalisme –misalnya, apakah semuanya harus diukur semata dengan profit dan interest rate, atau haruskah dicari model pengembangan lain, misalnya model pengembangan yang berwawasan lingkungan, namun tampaknya masih sulit bagi masyarakat kapitalisme Barat untuk meninggalkan model segi tiga waktu-ruang-uang sebagai bentuk kekuatan sosial mereka. Marshall Berman, seorang kritikus Amerika misalnya, melihat bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas kapitalisme, pada kenyataannya tak lebih dari sebuah “kemajuan semu”. Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam kehidupan; menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba menyatukan dunia; namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik; ia hanya menghasilkan kesatuan dalam ketidakbersatuan. Manusia modern, pada kenyataannya telah digiring ke dalam sebuah ruang kontradiksi.
Manusia dibentuk secara historis dan kultural dalam wacana-wacana di dalam sebuah ruang. Ruang merupakan sebuah “wadah” bagi beroperasinya “kekuasaan”, yang selalu menentukan gerak langkah sebatang tubuh manusia dalam proses sosial di dalamnya. Dick Hebdige menegaskan, kekuasaan dalam wacana masyarakat konsumer telah diputarbalikkan –dari lobi-lobi politik, kekuatan militer, parlemen, ke media massa, periklanan, window display, industri hiburan, fashion show, pertandingan sepak bola, celana Jean Levy Strauss atau Shampoo Sunsilk—kekuasaan-kekuasaan yang langsung menyentuh tubuh, kulit, rambut, kamar tamu, mobil, dan sebagainya, disebabkan semuanya menawarkan kesenangan, kegembiraan dan kemudahan; kekuasaan-kekuasaan yang memungkinkan setiap individu untuk menentukan posisinya sendiri dalam wacana-wacana yang ditawarkan oleh kapitalisme, yang bersifat plural, mengalir, berubah dan indeterminan.
Sementara itu, proses penaklukan ruang atau sebut saja “pelipatan” ruang oleh kapitalis telah mengalihkan perhatian masyarakat konsumer ke dalam ekstase konsumerisme dan komunikasi. Pelipatan ruang itu sendiri akhirnya menjadi unsur penting dalam wacana konsumerisme—ia menjadi komoditi. Wacana konsumerisme memungkinkan masyarakat dunia mendiami satu ruang yang disebut Baudrillard ruang “simulacrum”, yaitu ruang yang disarati oleh duplikasi dan “daur ulang” berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda (dalam wujud komoditi) dalam satu ruang dan waktu yang sama –ruang yang memungkinkan masyarakat di Indonesia, misalnya, mengikuti kejadian-kejadian aktual atau model-model yang lagi hangat di New York secara langsung. Siapa pun dapat menyaksikan dan “mengalami” dunia secara keseluruhan dan utuh dengan mengkonsumsi acara TV atau melalui sebuah disket. Ini lah miniatur dari dunia, satu wadah di mana fragmen-fragmen dunia dilipat.
Maka, setelah ruang dan waktu merupakan bagian penting dari budaya konsumerisme, unsur berikutnya adalah “kecepatan”—ia juga menjadi komoditi. Paul Virilio, seorang kritikus Italia, melihat “kecepatan” dalam wacana kapitalisme tidak semata-mata merupakan fenomena sosial dan ekonomi, akan tetapi juga politik dan estetik.
Mengikuti cara pengkajian Virilio yang metaforik, dapat dibuat satu perumpamaan bahwa kapitalisme pada tingkatnya yang advanced sekarang ini, pada hakikatnya tak berbeda antara apa yang terjadi pada para pembalap di sirkuit mobil, para ahli di pusat strategi militer, para produser dan pekerja di pabrik, atau para konsumer di pusat perbelanjaan –semuanya sama-sama berpacu dalam kecepatan. Fenomena “histeria” terhadap kecepatan ini seakan-akan merupakan “realitas” yang tak dapat dielakkan dalam wacana produksi dan konsumsi kapitalisme yang bersifat global dewasa ini. Para ilmuwan berpacu dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang pada akhirnya menjadi bagian dari tujuan dari komersil; para produser multinasional berlomba dalam memperoleh akses terhadap informasi tentang pengetahuan, strategi atau “rahasia teknologis” untuk menciptakan produk yang unggul, yang untuk itu diperlukan agen-agen rahasia sains dan teknologi; di supermarket-supermarket, para retailer juga berlomba dalam memasarkan produk-produk baru dengan “window display” sebagai senjata utamanya; dan di dalam televisi perusahaan-perusahaan yang sama berpacu dalam kecepatan pencitraan melalui iklan-iklan. Sementara di lain pihak, dalam kecepatan yang sama, para konsumer juga berlomba dalam mendapatkan barang-barang baru, citra-citra baru, serta gaya-gaya baru, dan meremajakan yang sudah ada.
Mengalirnya fashion di pusat-pusat perbelanjaan dalam kecepatan yang tinggi memberikan cara yang sangat efektif dalam memacu percepatan produksi-konsumsi. Ini tentunya tidak hanya berlaku pada model pakaian, tetapi juga pada model barang konsumer lainnya, termasuk kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup dan rekreasi, yang kini bernaung di bawah panji-panji fashion. Pelipatan waktu produksi dan konsumsi dalam bentuknya yang ekstrem melalui sistem fashion memungkinkan konsumer untuk mengganti produk mereka setiap hari. Pelipatan waktu semacam ini telah menggiring masyarakat konsumer (Barat) ke dalam budaya serba instant (instant food, fast food, instant furniture, dsb.).
Maka, tak pelak kalau Virilio menyindir masyarakat kapitalis Barat sebagai masyarakat yang hidup dalam ruang “epilepsi”, yaitu ruang yang disarati oleh “…kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tak terduga, yang tidak lagi sekadar berkaitan dengan tekanan dan represi, akan tetapi dengan interupsi (melalui percepatan), muncul dan menghilangkan dunia rill…”
Wacana kapitalisme disarati oleh simpang-siur tanda-tanda dalam komoditi, iklan, dan tontonan, yang muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi. Dalam hutan rimba tanda-tanda ini, konsumer kapitalis mengambil posisi bagaikan sebuah jaring laba-laba –ia menjaring apa pun (tanda, produk, citraan, atau gaya) yang lewat, namun tak mampu memahami nilai dan makna apa-apa darinya, disebabkan perhatiannya terperangkap oleh kegairahan percepatan pergantian ini. Jaring-jaring laba ini menjerat mereka dalam siklus kehidupan yang disebut Jameson “perubahan abadi”—kairos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu), sehingga tak mampu lagi menemukan siklus kedalaman chronos (nilai-nilai mitos, spiritual, ideologi).

Di dalam wacana kapitalisme, estetika merupakan produk dari sistem percepatan produksi konsumsi sebagai akibat dari komodifikasi produk-produk secara total. Trik-trik dalam media televisi –yang tidak saja mampu menciptakan efek, slow motion, akan tetapi juga fast motion—telah membuka jalan yang lapang bagi intervensi “kecepatan” ke dalam estetika. Namun dalam wacana estetika percepatan ini ada lampu merah yang perlu menjadi satu peringatan. Bahwa intervensi kecepatan yang berlebih-lebihan ke dalam estetika dikhawatirkan akan menyebabkan lunturnya ‘intensitas’ dalam obyek-obyek estetik, sebab intensitas dalam seni lebih dimungkinkan tercipta melalui perenungan..
Rangkaian tontonan-tontonan yang disuguhkan oleh media massa kapitalisme mutakhir, menurut Baudrillard, telah menyulap individu-individu menjadi sekumpulan “mayoritas yang diam”. Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media menjadikan massa yang diam tersebut menjadi layaknya sebuah layar raksasa –yang segala sesuatu (tontonan film, informasi berita, iklan, psikologi popular, tip diet, fitness pagi) mengalir melalui mereka, segala sesuatu menarik mereka bagaikan magnet, namun tidak ada bekas (nilai, makna luhur) apa-apa yang ditinggalkan. Televisi, mislanya, bisa menarik massa ratusan juta orang untuk sebuah tontonan sepak bola dini hari. Namun, apakah bekas “makna” (ideologis, moral, mitologis, spiritual) yang ditinggalkan oleh tontonan itu perlu dipertanyakan lagi.
Rangkaian cerita (televisi, film) yang menyuguhkan simulacrum kekerasan, kriminalitas, dan seksualitas –yang berbentuk “fantasi yang nyata”, yang lebih keras, lebih kriminil, lebih seksual dari yang dapat dibayangkan akal sehat—telah membentuk penonton-penonton yang lebih banyak hidup dalam “kepanikan missal”, yang semakin menjauhkannya dari makna-makna luhur: kepanikan seks (bayangkan kasus Gigolo in the Murder), kepanikan uang (kasus mega korupsi), atau kepanikan ekstase (suntikan ekstase). Massa yang panik ini menyerap segala energi sosial, akan tetapi tak mampu lagi membiaskannya. Ia menyerap setiap tanda dan setiap makna, akan tetapi tak mampu lagi memantulkannya.
Sirkulasi suguhan-suguhan ekstase, keterpesonaan, kecabulan, kekerasan (yang beroperasi bagaikan sebuah suntikan “Ekstase”) hanya menghasilkan massa yang “mabuk” atau “kecanduan” akan sirkulasi penampakan tontonan. Ia hanya mengembangkan “hawa nafsu” yang tanpa ada batasnya. Di hadapan massa yang “mabuk” dan “kecanduan” akan kedangkalan ritual tontonan ini, penyuntikan pesan-pesan dan muatan-muatan makna (luhur) melalui media hanya upaya sia-sia, sebab makna-makna ditelan dan lenyap lebih cepat ketimbang penyuntikannya.
Pertama kali dalam sejarah, bahwa seseorang dalam satu komunikasi (televisi) lebih mengenal seorang bintang TV atau tokoh kartun (yang ia belum pernah ketemu dan bersifat fiktif) ketimbang tetangganya sendiri. Begitu juga shopping mall, telah mentransformasikan kegiatan belanja, yang sebelumnya semata-mata kegiatan transaksi jual-beli –menjadi satu kegiatan waktu senggang yang menjanjikan kesenangan dan fantasi. Sistem perbelanjaan mutakhir secara terus-menerus menyuguhkan konsumer rangkaian produk dan pelayanan, “suasana” serta lingkungan yang selalu diremajakan. Kini, “kebudayaan belanja” telah menjadi satu dunia nyata yang menjajah kehidupan soisal yang sangat luas.
Di dalam kebudayaan konsumer dewasa ini, konsumsi tidak lagi sekadar bersifat fungsional –yaitu, pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kini, lebih dari itu, konsumsi bersifat materi sekaligus simbolik. Konsumsi, dalam pengertian yang sesungguhnya, mengekspresikan posisi dan “identitas” seseorang di dunia. Kecenderungan umum ke arah pembentukan identitas melalui gaya –penggunaan pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik dan makna-makna personal, telah mewabahi masyarakat—konsep “gaya hidup” sebagai raison de etre dari pemasaran adalah satu bentuk dari pembentukan “realitas semu” dalam masyarakat konsumer sekarang ini.
Baudrillard mengatakan cara manusia masa kini melihat dirinya sendiri di dalam citraan-citraan simulacrum media. Manusia masa kini, demikian dikatakannya, berada di dalam era “akhir rahasia” atau penghancuran rahasia yang mana sudah tidak ada tabir antara hal yang bersifat privasi dengan hal-hal yang bisa dipublikasikan.
Nilai-nilai “luhur” (tabu, moral, mitos, spiritual) sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendefinisikan dan membentuk dunia penampakan, atau dunia obyek-obyek. Sebab, tabu, misalnya, berfungsi sebagai referensi dalam proses ideologi –dalam menentukan posisi seseorang sebagai “subyek” dalam satu sistem signifikansi sosial. Tabu merupakan satu mekanisme sosial yang bersifat abstrak, dan berfungsi memberikan tapal-tapal batas bagi suatu komunitas dalam mengekspresikan atau merepresentasikan diri mereka melalui dunia obyek-obyek yang mereka pakai, melalui bahasa yang mereka ucapkan, atau melalui tindak-tanduk yang mereka lakukan. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang “pantas”, “kurang panats”, dan “tak pantas” untuk dilihat, dipertontonkan, dilakukan atau direpresentasikan melalui citra-citra dan obyek-obyek di dalam satu sistem representasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dick Hebdige, “…batas-batas ekspresi bahasa yang dapat diterima diatur oleh seperangkat tabu-tabu yang bersifat universal. Tabu-tabu ini menjamin “transparansi”(dapat diterimanya) makna.
Akan tetapi, kini, ketika tabu itu sendiri telah didekonstruksi, “…ketika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ketika ia menjadi semacam pengoperasian yang tanpa batas, hawa nafsu tersebut menjadi tanpa realitas, sebab ia tanpa imajiner –hawa nafsu di mana-mana, akan tetapi di mana-mana dalam bentuk simulasi”. Ketika manusia diperbolehkan melihat, mempertontonkan, melakukan atau merepresentasikan yang sebelumnya dianggap tabu, amoral, atau abnormal, maka sebenarnya tidak ada lagi “rahasia” di dalam dunia realitas.
Demikianlah tulisan Yasraf A.Piliang yang menggambarkan tentang wacana kapitalisme mutakhir. Menjamurnya shopping mall, supermarket, toko serba ada; meluasnya pemilikan televisi sampai ke desa-desa; mewabahnya citraan-citraan semu di media-media massa, komoditi-komoditi, dan tubuh-tubuh, semuanya merupakan satu bukti, bahwa sebetulnya teori-teori (Baudrillard) tentang simulasi dan realitas semu bukannya tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya ia mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya di tengah-tengah citraan-citraan dan obyek-obyek yang mengalir di hadapan kita, sesungguhnya kita telah berubah.
Tulisan artikel Yasraf A.Piliang yang saya review tersebut menjadi gambaran buat kita untuk menentukan pilihan; menjadi masyarakat atau umat yang akan memilih dan melangkah mengikuti arus globalisasi dengan jiwa konsumeris, dengan selalu mengikuti gaya dan produk baru, yang kemudian dalam simbol sosial kita disebut “modern, keren, ngetrend, atau sebutan lainnya yang melambangkan kita di posisi, yang katanya, mengikuti zaman”, atau kita akan memperjuangkan sesuatu yang lebih bernilai, berharga, bermakna, dan bermanfaat dalam hidup ini. Yang jelas, seperti yang kita ketahui tidak ada larangan menggunakan hal-hal yang baru atau modern, selama itu tidak melanggar syariat apalagi jika itu mendatangkan manfaat dan kebaikan. Hanya saja, kita harus lebih pandai mem-filter, mana yang baik dan benar, dan mana yang salah dan tidak patut buat moral, estetika, norma-norma yang berlaku, agama, dan spiritual kehidupan kita sesungguhnya.
Untuk komentar mengenai isi artikel, saya tidak menemukan secara tersurat makna “estetika hiperrealitas” dan terutama “politik konsumerisme” seperti yang ada pada judul tulisan ini. Namun, saya menyimpulkan secara personal bahwa barangkali yang dimaksud dalam tema yang diangkat oleh Yasraf A.Piliang ini adalah adanya dunia seni, keindahan, dan hiburan dalam kehidupan kita di masa kini adalah dunia yang cuma berada dalam fantasi, semu belaka, walaupun “nyata”, misalnya kita melihat indahnya tarian “Rumingkang” dalam kontes “Indonesia Mencari Bakat bersama Supermie” jelas oleh mata kita, tapi pada saat yang sama cuma ada di layar kaca televisi; kita tidak melihat dan menikmatinya secara langsung berhadapan. Begitu juga dalam hal masalah-masalah lain. Semua ini adalah salah satu akibat majunya sains dan teknologi masa kini. Sedangkan tentang politik konsumerisme, barangkali maksudnya adalah jiwa-jiwa masyarakat yang lebih suka terhadap hal-hal yang baru dengan model-model baru sehingga seseorang lebih suka mengganti yang lama jika itu sudah dianggap jadul, yang dalam hal ini diperankan oleh yang disebut “media” untuk membuat image-image tertentu, dan akhirnya para produser pun menggunakan kesempatan jiwa konsumeris masyarakat ini untuk sesuatu yang bisa mendatangkan nilai komersil. Selebih dan sekurangnya Wallahua’lam bilShawwab.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar